STORY "Helmet and Stethoscope"
“Helm dan Stetoskop”
Jendela yang dibasahi oleh air hujan,
merupakan pemandangan yang selalu kulihat tiga hari terakhir ini. Cairan infus
yang jatuh tetes demi tetes pun menjadi sesuatu yang biasa bagiku. Aku bagaikan
berada dalam penjara dan tak bisa melakukan apa – apa. Aku hanya bisa duduk dan
berbaring di kasur, teman bicara pun aku tak punya.
Minggu pertama di bulan Oktober
tepat dua minggu sebelum hari ulang tahunku, aku jatuh sakit dan harus dirawat
inap di rumah sakit. Keluarga yang biasa menjagaku kini sedang melakukan
aktifitas mereka masing – masing. Ayah dan Ibu bekerja, dan adikku harus sekolah.
Yang ada disini hanya para dokter dan perawat.
“Selamat pagi Erin. Bagaimana
kondisimu hari ini?” tanya dokter padaku.
“Hai dok, seperti biasa aku baik –
baik saja.” Jawabku.
Aku selalu menjawab pertanyaan
mereka dengan jawaban yang sama. “Baik – baik saja” dibalik kalimat itu suasana
disini terasa sangat sunyi tanpa teman untuk bicara. Sembari menunggu ayah dan
ibu, aku hanya membaca buku cerita yang diberikan oleh dokter yang merawatku. Dan
tak jarang aku tertidur bersama dengan buku yang sebenarnya sedang ku baca.
Suara pintu terbuka pun terdengar
dan…
“Erin, bagaimana kondisimu nak? Ini
ibu bawakan kue dan boneka kesukaanmu.”
Itu merupakan hal yang selalu ibu
dan ayah lakukan untukku. Mereka membawakan hal - hal yang kusukai. Mungkin
memang menyenangkan memiliki semua itu, tapi yang aku butuhkan bukanlah materi,
tapi hal yang berbeda. Aku tak yakin jika mereka mengerti tentang ini.
Pemeriksaan pun kembali dilanjutkan, kondisiku mulai
membaik namun kata dokter aku masih harus dirawat inap selama kurang lebih tiga
minggu untuk jaga – jaga.
“Oh iya, aku punya kabar gembira untukmu Erin.” Sahut
dokter.
“Besok kau akan dipindahkan keruangan Eco, dan disana
kau akan bertemu dengan teman baru.”
Tambahnya.
Mendengarnya membuatku sangat senang, dan langsung
meminta perawat yang ada untuk memindahkan barang – barangku keruangan Eco.
Keesokan harinya aku pun pindah di ruangan itu, dan
sekitar pukul satu siang teman sekamarku datang, dia diantar oleh ibunya. Gadis
berambut panjang agak kecoklatan dengan kulit yang tampak pucat. Tanpa ragu,
aku langsung tersenyum dan menyapanya.
“Hai, selamat datang. Kau bisa memanggilku Erin.”
Kataku.
Dia hanya terdiam dan melihat kearah ibunya lalu
membisikan sesuatu.
“Terima kasih atas sambutannya. Perkenalkan namaku Lena,
dan ini putriku Netha. Dia memang pemalu, tapi tolong bertemanlah dengannya
yah!” kata ibu tersebut.
Aku mencoba untuk mendekatinya tapi dia tidak memberi
merespon apa – apa padaku. Lalu seorang perawat datang dan membawakan kami
boneka. Tanpa sadar kami sudah bermain bersama, dan perlahan – lahan kami mulai
berbincang tentang banyak hal.
“Netha, syukurlah kau pemalunya hanya diawal saja. Upps!
Maaf yah, aku orangnya suka kelewatan.” Kataku sambil tertawa kecil.
Tiba – tiba Netha tertawa dan dia berkata…
“Aku senang bisa satu ruangan denganmu Erin.” Jawabnya
dengan ramah.
Karena berada dalam satu ruangan kami sering
menghabiskan waktu bersama, dan semakin hari kami semakin dekat. Kedekatan kami
berdua pun berimbas pada orang tua kami, ibuku dan ibu Netha juga menjadi akrab.
Bahkan ada seorang perawat yang berkata bahwa kami terlihat seperti saudara
kembar.
Di hari ke enam belas di bulan Oktober, aku terbangun
oleh suara hujan di pagi hari. Karena cahaya yang menyinari sudah sukup terang,
aku pun membangunkan Netha.
“Netha, Netha… ayo bangun ini sudah pagi!” kataku
sambil menggoyangkan lengannya.
Saat Netha terbangun aku langsung mengajaknya melihat
pemandangan kota di pagi hari yang dibasahi oleh air hujan. Dan tiba – tiba…,
terdengar suara terompet dan nyanyian selamat ulang tahun dari para dokter dan
perawat yang membawa hadiah dan balon. Sontak kami terkejut. Lalu kedua orang
tua kami pun masuk membawa masing – masing satu kue ulang tahun.
“Loh, kenapa kuenya ada dua?” tanya kami bersamaan
sambil memandangi satu sama lain dengan wajah heran.
“Erin, hari ini ulang tahun Netha apa kau tak ingin
memberinya ucapan selamat?” tanya ibu.
“Iya Netha, hari ini ulang Erin apa kau tak ingin
memberinya hadiah?” tambah Ibu Netha.
Kami berdua kembali saling menatap satu sama lain
dengan wajah terkejut.
“Hari ini ulang tahunmu?” tanya Netha padaku.
“Ya begitulah… tunggu dulu, hari ini juga ulang
tahunmu Netha? Wah, kenapa bisa sama seperti ini yah?” seruku keheranan.
Mendengar pembicaraan kami berdua seisi ruangan Eco
pun dipenuhi oleh tawa dan ucapan selamat. Disamping itu tak pernah kusangka
kalau ternyata kami berdua lahir di tanggal, bulan, bahkan tahun yang sama. Aku
masih terkejut dan tak percaya kalau teman baikku ternyata lahir bersamaan
denganku meskipun di tempat yang berbeda.
Karena hal ini kami pun menjadi semakin dekat bahkan
melebihi ikatan saudara kandung. Dan tanpa kusadari hari ini adalah pemeriksaan
terakhirku, dan besok aku sudah diperbolehkan untuk kembali ke rumah.
Mendengar hal itu, aku yang seharusnya senang dan
antusias untuk pulang malah berubah 180°. Kali ini aku benar – benar tak ingin
pulang, aku ingin tetap tinggal disini. Aku ingin tetap bisa bermain dan
bersama dengan Netha, tapi keinginanku kali ini tak bisa dipenuhi.
Dengan berat hati, aku pun mengucapkan salam
perpisahan dengan Netha dan keluarganya. Saat tiba di lorong rumah sakit aku
berbalik dan lari kearah Netha dan langsung memeluknya.
“Kau sahabat terbaikku Netha, aku janji tak akan
melupakanmu. Cepatlah sembuh yah!” Kataku sambil menggenggam tangan Netha.
“Yah, aku juga sangat senang bertemu denganmu Erin. Kalau
begitu bagaimana kalau kita adakan janji kelingking?” tambah Netha.
Sebagai salam terakhir sebelum berpisah kami pun
mengadakan janji kelingking.
…
Empat tahun berlalu dan aku sudah berada di tahun
ketiga di SMA, yang berarti ini adalah tahun terakhirku sebagai seorang siswi.
“Wah, tiba – tiba turun hujan aku harus cari tempat untuk
berteduh.” Kataku dalam hati.
Aku pun tiba di salah satu halte bus dekat sekolah,
yang sudah penuh sesak dengan orang lain yang sudah lebih dulu sampai ditempat
itu. Walaupun seolah tak berguna, aku
tetap berdiri didekat halte itu sambil merelakan seragamku dibasahi oleh hujan
yang jatuh dari kanopi halte itu.
“Kalau basah, basah saja deh! Aku tak peduli.”
Pikirku.
Tiba – tiba tetesan air hujan itu berhenti. Dengan
keadaan seragam setengah basah, aku melihat keatas dan mendapati ada payung
merah maroon yang melindungiku dari derasnya hujan. Saat aku memalingkan
wajahku untuk melihat orang yang membantuku,
yang bisa kulihat hanya jas almamater dengan logo sekolah yang sama
denganku.
“Tt-terima kasih untuk payungnya, tapi nanti kau
sendiri bisa kehujanan.” Kataku.
“Sudahlah, tak mungkin kan aku membiarkan seorang
perempuan basah sementara aku sendiri punya payung untuk berlindung dari
hujan.” Jawabnya dari belakang sambil memegang payung.
Kurang lebih setengah jam, hujan pun berhenti. Orang –
orang yang tadi berteduh di halte mulai pergi satu demi satu. Saat aku hendak
berterima kasih pada orang tadi, dia malah menghilang. Karena sudah menjelang
sore, aku pun memutuskan untuk langsung pulang.
Keesokan harinya sebelum berangkat sekolah, aku
memutuskan untuk menonton perkiraan cuaca di TV terlebih dahulu untuk jaga –
jaga.
“Cuaca hari ini cerah, dan takkan ada hujan untuk hari
ini.” Kataku kegirangan sambil berjalan kearah stasiun.
…
Pelajaran selesai dan lanjut dengan kegiatan
ekstrakurikuler. Setelahnya aku langsung pulang, berjalan menuju stasiun.
Ditengah perjalanan tiba – tiba turun hujan deras, seperti kemarin.
“Apa maksudnya ini? Di TV dikatakan cuacanya
cerah!” keluhku sambil berlari ke arah teras sebuah café untuk berteduh.
Hembusan angin membuatku semakin basah. Dan tiba –
tiba, ada seorang laki – laki yang berada di sampingku melepaskan jacketnya,
mendekatiku dan menggunakan jacketnya untuk melindungiku dari tetes air hujan.
Sekilas aku kembali teringat dengan kejadian di halte bus kemarin.
“Apa orang ini yang meminjamkan payungnya padaku
kemarin?” pikirku.
Tanpa ragu aku meraih tangannya dan membuat jacket itu
menutupi sebagian dari tubuhnya yang tinggi.
“Hei, apa yang kau lakukan?” tanya orang itu.
“Tak adil kalau aku sendiri kering, dan kau basah
kuyub.” Sahutku.
Dia mulai mencoba memindahkan posisi jacketnya agar
aku tak basah, tapi sekali lagi aku meraih tangannya dan mengembalikan posisi
tadi dimana kami berdua terlindung dari hujan meskipun hanya sebagian tubuh.
Sampai hujan berhenti aku tak melepas tangannya yang
memegang jacket itu. Aku berniat menahannya agar bisa berterima kasih seutuhnya
pada orang itu.
“Terima kasih untuk bantuannya …, siapa namamu?”
tanyaku spontan.
“Oh, maaf aku kelewatan yah?” tanyaku.
“Bukan masalah. Namaku Yos.” Jawabnya sambil
memalingkan wajah.
Aku pun memperkenalkan diriku dan sekali lagi
berterima kasih padanya dan berpisah. Dia pergi lebih dulu, sementara masih
harus tinggal menunggu jemputan ayahku. Saat tengah menunggu tiba – tiba,
mataku tertuju pada benda yang hampir ku injak.
Itu sebuah dompet berwarna coklat tua, dan saat ku
periksa kartu identitasnya ternyata milik siswa sekolah yang sama denganku yang
bernama Yoseph. Ini milik orang yang menolongku, dan aku harus mengembalikan
barang ini padanya.
Karena di kartu identitas siswa tercantum kelasnya,
aku pun memutuskan untuk langsung menemuinya dan mengembalikan dompet ini. Tapi
saat tiba di kelasnya, dia tak ada. Dia sedang izin, kata seorang siswa dari
kelas itu.
Dengan tidak hadirnya dia, aku pun kembali menahan dan
membawa pulang dompet itu. Dan karena bosan, aku pun mengeluarkan semua isi
dari dompet itu. Aku memeriksa semuanya, terkecuali untuk uang aku tak mau menyentuhnya
sama sekali.
Keesokan harinya, aku kembali mencari tapi dia masih
belum hadir di sekolah. Karena sepertinya tak memungkinkan untuk mengembalikan
dompetnya minggu ini, aku pun memilih untuk mengembalikannya minggu depan.
…
“Oh tidak, bus terakhir akan segera pergi aku harus
cepat agar tidak terlambat.” Kataku sambil berlari kearah halte bus.
“BUK!!!” --- Aku menabrak seseorang ---
“Awww, maaf aku tak sengaja.” Kataku sambil mengambil headset yang terlempar ke trotoar.
“Loh, kamu Yos kan? Aku mencarimu selama ini, kau
darimana saja?” kataku terkejut.
“Kau? Mencari ku untuk apa?” jawabnya.
Bus yang hendak aku naiki pun menutup pintunya dan
pergi begitu saja.
“Oh tidak, busnya! Ah, aku terlambat.” Sahutku.
“Hei, kau belum menjawab pertanyaanku.” tambahnya.
“Aku tak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang, gerbang
sekolah akan segera ditutup.” Kataku gusar.
Beberapa menit terdiam, Yos pun mengenakan kembali headseatnya dan berjalan pergi menjauhi
halte.
“Hei, kau mau kemana?” tanyaku sambil berlari mencoba
menyusulnya.
“Tentu saja kesekolah, kemana lagi?” tungkasnya.
“Tapi bukankah terlalu jauh jika hanya dengan jalan
kaki?” tanyaku.
“Lebih baik seperti ini daripada harus menunggu bus
selanjutnya, bukan?” katanya.
Aku terdiam dan mulai berjalan bersamanya menuju
sekolah. Memang jaraknya cukup jauh, tapi sudahlah tak ada salahnya jalan kaki
kesekolah. Ditengah perjalanan aku teringat sesuatu yang cukup penting.
“Oh iya!” sahutku.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ini milikmu kan, Yos-seph?? Tanyaku sambil memberikan
dompet yang ku temukan didepan café.
Yos langsung mengambil dompetnya dan menyimpannya
disaku belakangnya.
“Kau tidak memeriksanya?” tanyaku.
“Memangnya kenapa, apa kau melakukan sesuatu terhadap
dompetku?” tungkasnya.
Mendengarnya membuatku kesal, bukannya berterima kasih
malah menuduhku yang tidak – tidak. Aku pun mempercepat langkahku meninggalkan
Yos dibelakang.
“Hei kau!” seru Yos dari belakang.
Aku tetap mempercepat langkahku dan tak berpaling
kearahnya. Samar – samar terdengar suara langkah kaki yang semakin cepat.
Sepertinya dia mencoba mengejarku.
“Iya, iya terima kasih. Maaf karena sudah menuduhmu.”
Katanya.
Sejenak aku terdiam. Dan menjelaskan kronologis aku
menemukan dompet itu.
“Wah,wah,wah… tiga hari ini aku mencari barang ini
kemana – mana ternyata ada padamu yah?.” Tampik Yos dengan nada bercanda.
“Kau seharusnya bersyukur aku yang menemukan dompetmu.
Selain itu, kau kemana saja minggu lalu? Padahal aku ingin mengembalikan
dompetmu tapi kau sendiri malah tak hadir di sekolah.” Lanjutku.
“Aku sedang ada keperluan waktu itu. Lagipula aku juga
sudah minta izin pada wali kelasku.” Jawabnya tegas.
“Keperluan? Memangnya apa itu sampai harus minta izin
hingga tiga hari?” ucapku.
Yos hanya diam seolah tak mendengar pertanyaanku.
Tanpa terasa kami sudah berjalan cukup jauh dan
tinggal dua belokan lagi kami akan tiba disekolah. Dan karena keenakan ngobrol
kami jadi lupa waktu dan berjalan dengan santai. Padahal tinggal beberapa menit
lagi gerbang sekolah akan ditutup.
“Okee! Tinggal satu belokan lagi kita akan sampai.”
Kataku bersemangat.
Yos pun melihat arloji ditangan kirinya. Dan
ekspresinya tiba – tiba berubah, dia meraih tanganku dan mulai berlari. Dia
berlari cukup cepat dan membuatku seolah – olah terseret olehnya.
“Hei, ada apa?” tanyaku sambil mencoba untuk terus
berlari mengimbangi kecepatan larinya.
Yos hanya terus berlari --- menyeretku --- dan sekali
lagi dia tak menanggapi pertanyaanku.
Sesampainya disekolah, untunglah gerbang belum ditutup
oleh security sekolah. Tapi dia tak mengizinkan kami masuk begitu saja. Setelah
mengunci gerbang dia membawa kami masuk menuju ke ruang BK.
“Kalian terlambat tujuh menit, dan harus menghadap
guru BK.” Kata security itu.
“Apa?” tanyaku.
Setibanya di
ruang BK, kami langsung dihukum untuk membersihkan taman oleh salah satu guru
BK yang juga merupakan guru piket hari ini. Mau tidak mau kami harus melakukannya.
“Hei Yos! Kau tidak merespon pertanyaanku daritadi.”
Teriakku sambil memegang sapu.
“Sudahlah selesaikan saja hukuman ini.” Tandasnya.
Aku terdiam dan melanjutkan menyapu daun – daun kering
yang jatuh di daerah taman. Meskipun dalam kondisi diam, sebenarnya aku
memikirkan banyak hal. Semua yang kami bicarakan sepanjang perjalanan tadi,
khususnya saat dimana Yos tiba – tiba menyeretku berlari kearah sekolah.
“Yos, memangnya keperluan apa yang membuatmu izin
sampai tiga hari?” tanyaku lagi.
“Kau masih ingin tau? Apa kau sepenasaran itu? Itu
karena hobi.” Lanjutnya.
“Hobi?? Hobi apa yang memakan waktu tiga hari? Tanyaku
keheranan.”
“Sudahlah, ayo cepat selesaikan tugasmu.” Katanya menutup
pembicaraan.
Melihat responnya yang seperti itu, aku mempercepat
pergerakanku dan tanpa sengaja aku menjatuhkan keranjang sampah yang sudah kami
isi penuh dengan daun – daun kering yang tadi kami bersihkan.
“Aah, maaf, maafkan aku.” Kataku dengan lembut.
Karena kecerobohanku kami berdua harus kembali
membersihkan taman untuk kedua kalinya dan kali ini aku harus lebih hati –
hati. Saat tengah memindahkan daun – daun kering, tak sengaja tatapanku bertemu
dengan tatapan Yos.
“Ada apa? Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku.
“Kau ternyata punya sisi lembut juga yah?” jawabnya
sambil tersenyum.
Kata – kata dan senyumannya sontak membuatku terdiam,
menyembunyikan wajah dengan menunduk. Berbeda dari sebelumnya entah kenapa kali
ini Yos yang memulai pembicaraan.
“Kau ingin tahu hobiku? Itu hanyalah hobi biasa, hobi
yang murah.” Katanya.
Merespon perkataanya aku kembali mengangkat kepalaku
dan mencoba menebak hobi murah macam apa yang bisa memakan waktu hingga tiga
hari.
Hukuman kami pun selesai dan kami kembali ke kelas
masing – masing.
…
Hari demi hari berlalu, akhirnya aku tiba di liburan
musim panas.
“Uhmmm…, liburan seperti ini bagusnya melakukan apa
yah?” pikirku.
Aku tak punya rencana kemana – mana. Berbeda dengan
teman – teman sekelasku yang pergi liburan ke luar kota dan pulang ke kampung
halaman mereka. Aku sama sekali tak melakukan apa – apa dirumah, dan rasanya
sangat membosankan.
“Erin, kau tidak keluar untuk jalan – jalan, nak?”
tanya Ibu.
“Tidak bu. Aku tak punya rencana untuk keluar rumah
minggu ini.” Jawabku.
“Minggu ini yah? Bagaimana kalau Erin ikut dengan ayah
saja?” seru Ayah.
“Memangnya mau kemana, yah?” tanyaku.
“Jumat nanti, ikut saja dengan ayah. Ayah punya hal
baru yang mungkin bisa menarik perhatianmu.” Tambahnya.
Karena tak tahu harus kemana, aku pun memutuskan untuk
ikut bersama ayah. Dan seingatku terakhir kali aku menghabiskan waktu berdua
dengan ayah itu sekitar enam tahun yang lalu. Jadi menurutku tak ada salahnya
jika, aku menerima ajakannya.
Hari Jumat pun tiba …
“Erin, apakah kau sudah selesai ? Kita akan segera
berangkat, jangan lupa memakai helm-mu!” pinta ayah.
“Helm? Kita akan menggunakan motor?” lanjutku.
“Ya, cepatlah.” Tandaas ayah.
Sekitar dua jam perjalanan kami tiba di sebuah daerah
didataran tinggi, dan samar – samar terdengar satu jenis suara dalam jumlah
banyak.
“Ayah, kita mau kemana? Dan bukankah itu suara mot- …”
belum selesai bertanya ayah langsung memotong perkataanku.
“Ya, itu suara motocross.”
Jawabnya lugas.
Ternyata dugaanku benar itu suara motor balap. Sudah
lama aku tak mendengarnya. Aroma asap dan tanah yang bercampuran, itu bau yang
familiar untukku. Berada disini rasanya seperti bernostalgia dengan masa saat
aku masih duduk di sekolah dasar.
Aku mengenal
hal ini dari ayah, pamanku yang adalah kakak kandung dari ayahku merupakan
seorang pembalap. Dan sejak kecil aku selalu mengikuti ayah untuk menonton dan
mendukung paman di setiap pertandingan.
Mungkin hal ini cukup aneh untuk kebanyakan gadis
remaja seumuranku, tapi jujur saja aku lebih menyukai hal seperti ini daripada
hal – hal feminim yang sering dilakukan oleh teman – temanku.
Hobi ini terhenti semenjak aku harus dirawat inap di
rumah sakit sekitar empat tahun yang lalu. Penyakitku membuat ayah dan ibu
harus bekerja lebih keras agar bisa memenuhi biaya pengobatanku.
Dan untunglah, ayah sangat mengenal diriku. Dia
kembali membangkitkan jiwaku yang menyukai hal – hal otomotif. Dan di race kali
ini, aku dan ayah mendapat posisi yang sangat strategis untuk menonton. Yakni
dekat dengan garis start, namun jarak
pandangnya bisa sampai ke ujung sirkuit.
Aku sangat menikmati menonton balapan. Melihat pembalap
yang satu melewati pembalap yang lain itu sangat menarik bagiku. Dan selain
itu, ada satu hal yang tak bisa jauh dari dunia balapan yaitu kecelakaan dan
tabrakan.
Melihat kejadian seperti itu, seringkali membuatku
ingin menjadi seorang yang bisa berguna bagi orang lain. Aku ingin hidup untuk
menolong orang lain yang butuh pertolongan. Bekerja di dunia medis entah itu
dokter ataupun sebagai seorang perawat adalah impianku.
Ayah merupakan orang yang punya pengalaman tentang
dunia medis. Seringkali ia membantu beberapa pembalap junior yang terluka. Karena itu, tak jarang ayah juga masuk kedalam
tenda medis. Karena ayah masuk, tentu saja aku juga ikut masuk.
Dan saat masuk kedalam tenda itu, aku mendapati
seorang pembalap junior yang sedang
kesakitan karena terlibat insiden tabrakan. Aku juga memperhatikan kondisi
didalam tenda, dan tak sengaja pandanganku terhenti pada helm berwarna kuning neon yang terletak diatas meja.
Warna helmnya sangat mencolok dan menjadi pusat
perhatian dalam tenda ini.
“Erin, ambilkan perban yang ada di P3K diatas meja itu!.”
Pinta ayah.
Setelah selesai mengobati ayah pun keluar dari tenda
dan berbicara dengan manajer dari pembalap itu. Aku masih tetap didalam, ditugaskan
untuk menjaga si pembalap junior.
Setelah memastikan dia hanya butuh istirahat, aku pun berniat keluar dan
kembali menonton racenya. Belum sempat keluar, tiba – tiba ada pembalap lain
yang masuk dan langsung mendekati pembalap junior yang sedang dirawat.
“Apa dia tak apa – apa?” tanya orang yang baru masuk
itu.
“Ya, lukanya sudah diobati. Dan untuk saat ini, dia
hanya butuh istirahat yang cukup.” Jelasku pada pembalap yang tadi masuk masih
menggunakan helm.
Pandanganku kembali terhenti pada
helm pembalap ini, yang warnanya sangat mencolok hampir sama dengan helm
pembalap yang tadi ayah rawat. Tapi kali ini warnanya jingga neon. Dan, dalam hitungan detik tiba -
tiba pembalap ini melepaskan helmnya.
“Untunglah kau tak apa – apa…” kata
pembalap itu.
“Yos-, Yoseph? Apa itu kau?” tanyaku
terkejut.
“Loh, Erin? Apa yang kau lakukan
disini?” Yos balik bertanya.
Didalam tenda medis, kami berdua
sama-sama terkejut karena bisa bertemu ditempat dan situasi seperti ini.
“Kau seorang pembalap? Tunggu dulu jangan bilang, hobi
murah yang membuatmu menghilang selama tiga hari itu adalah … ?” tanyaku heran.
“Sepertinya aku sudah tak bisa mengelak lagi.” Katanya
sambil meletakkan helm disamping kotak P3K.
Selama kurang lebih empat puluh lima menit kami berdua
membahas tentang balapan, dan membicarakan juniornya
yang sedang terbaring lemah dalam tenda medis.
“Kau sepertinya sudah sangat tahu tentang hal seperti
ini…” kata Yos sambil mengambil helmnya dan berjalan keluar dari tenda medis.
“Ahahaha…, tidak juga. Ini hanya hal yang kuminati,
sama seperti kau menyukai hobi murahmu.” Kataku.
Yos hanya ternyum, berjalan kearah paddock dan melambaikan tangannya pada
kami yang berada di sekitar tenda medis.
“Berjuanglah!” teriakku.
Yos memakai helmnya dan mengacungkan jari jempolnya
kearahku, seolah seperti dia menjawabku dengan kalimat “Ok, siap.”
“Erin, kau mengenalnya nak?” tanya ayah yang tiba –
tiba mendekatiku.
“Ah ayah, mengejutkanku saja kerjaannya. Ya… bisa
dibilang begitu, kami teman satu sekolah.” Jawabku.
…
Tiba dikelas 110 cc, kelas dimana Yos berada. Aku dan
ayah langsung mendekati garis start
untuk melihat para pembalap. Dan saat sedang menunggu bendera dikibarkan, aku
tak sengaja melihat seorang pembalap menundukan kepalanya untuk berdoa.
Aku kagum padanya, karena dia berbeda. Saat yang lain
tengah sibuk mempersiapkan motornya, dia malah menunduk dan berdoa. Dan
pembalap itu mengenakan helm berwarna jingga neon. Ternyata dia adalah Yos.
Satu – satunya orang yang ku kenal di garis start itu.
Tak pernah kubayangkan bahwa Yos yang kukenal adalah
orang seperti ini.
Putaran demi putaran berlalu, dan akhirnya dia keluar
sebagai pemenang. Melihatnya menang membuatku sangat gembira, tapi ucapan
selamatku harus menunggu karena kami harus kembali merawat juniornya di tenda medis.
Aku keluar sejenak untuk mencari udara segar. Dan yang
kutemui hanya bau asap, tanah dan rumput yang bercampuran dan meskipun begitu aku
menyukai aroma ini. Suara daun yang saling bergesekan karena hembusan angin
membuatku sangat tenang.
Tiba – tiba pipiku terasa disentuh oleh sesuatu yang
dingin, dan …
“Ini minumlah!” pinta Yos yang mengoper minuman kaleng
padaku.
“Oh, terima kasih, ngomong –ngomong kau sepertinya
sudah sangat hebat dalam bidang ini, bahkan keluar sebagai seorang pemenang.”
Yos hanya terdiam , lalu meletakkan tangannya diatas
kepalaku dan mengusapnya. Aku terkejut, dan saat melihat kearahnya aku
mendapati dia sedang tersenyum. Dan ini merupakan kedua kalinya aku melihat dia
tersenyum, setelah kejadian membersihkan taman sekolah.
Entah kenapa, aku merasa seperti ada yang berbeda.
Hubungan kami mulai berubah.
…
Kembali ke sekolah, sebagai siswa tahun terakhir
rasanya sangat menyusahkan. Aku akan menghadapi ujian bertubi – tubi, untuk itu
aku harus memperbanyak porsi belajarku. Dan aku tau, aku harus berpikir lebih
dewasa dan lebih teliti lagi. Khususnya pemikiran tentang universitas beserta
fakultas dan jurusan yang akan kupilih.
Aku tak punya cita – cita tapi, aku punya tujuan hidup
yaitu untuk menolong orang lain. Dan profesi yang cocok untuk hal itu adalah ….
Dokter. Keputusanku sudah bulat dan takkan berganti lagi.
Aku ingin menolong sesama … hanya itu yang terlintas
dibenakku.
Teman – teman sekelasku sudah memutuskan untuk kuliah
di luar maupun dalam kota atau langsung bekerja.
Dan aku lebih memilih untuk tinggal didalam kota.
Seusai kegiatan ekskul aku berencana untuk langsung
pulang, tapi tiba – tiba aku dipanggil wali kelasku untuk konsultasi dan mengurus
berkas – berkas yang diperlukan untuk masuk ke perguruan tinggi nanti. Dan itu
benar - benar memakan waktu.
Detik demi detik berlalu, dan hari sudah semakin
gelap…
Saat aku tengah berjalan sendirian menuju stasiun, tiba
– tiba terdengar suara klakson dari belakang.
“Naiklah! Kau akan kuantar.” Seru pengendara motor itu.
“Suara ini? Yos-seph bukan?” kataku.
“Ya, ini aku. Ayo naik, hari sudah semakin gelap dan
dingin.” Jawabnya.
Aku pun menerima tawaran Yos untuk mengantarku. Aku
yakin dia orang yang baik, dan aku percaya padanya. Lagipula ayah juga sudah
mengenalnya semenjak race terakhir.
Di tengah heningnya malam, dia melaju dengan kecepatan
normal. Dan menurutku kecepatan ini berbanding terbalik dengan Yos yang adalah
seorang pembalap yang biasanya melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang
perjalanan aku hanya diam, dan menikmati angin malam.
“Tumben kau diam. Apa kau kedinginan? Aku membawa sweater, kau bisa memakainya.” ucap Yos.
“Tidak, tak usah. Aku sudah biasa dengan udara
dingin.” Tampikku.
Tiba – tiba dia menghentikan motornya.
“Meskipun begitu, kau harus tetap menggunakannya. Ini
pakailah, agar kau bisa lebih hangat.” Lanjut Yos sambil mengeluarkan sweater dari tasnya.
“Bagaimana denganmu?” tanyaku.
“Sudah, tak usah dipikirkan.” jawab Yos santai.
Diperjalanan pulang kami membicarakan
banyak hal. Dan sebagai topik terakhir kami membahas tentang perguruan tinggi,
kami saling berbagi cerita tentang universitas dan jurusan – jurusan yang kami
minati.
Aku sendiri sudah memilih akan lanjut
kemana. Meskipun memang masih agak ragu. Dan aku yakin dia juga sudah memilih
dan mengambil keputusan.
Kami akhirnya tiba di depan rumahku, dan sebelum
berpisah tentu saja aku berterima kasih.
“Tak usah bimbang, percayalah kata
hatimu” katanya sambil mengusap kepalaku di depan pintu pagar rumahku.
Tak hanya mengusap dia juga mengelus
rambutku. Dia melakukannya sekali lagi. Tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau
kami akan jadi sedekat ini. Satu hal yang timbul dipikiranku.
“Dia berbeda …”
Akhirnya aku sadar bahwa dia punya tempat spesial di
hatiku.
…
Hari – hari berlalu, kami jadi sering melakukan
berbagai hal bersama. Aku juga sering menghadiri race yang dia ikuti ---meskipun seringkali aku datang bersama ayah---
. Bukan hanya sering, tapi sepertinya aku selalu mengikutinya kemana pun ia
pergi.
Di hari ke delapan, bulan Mei. Yos mengajakku untuk
pergi bersama. Katanya ada yang perlu dia bicarakan, dan jujur aku sendiri tak
tahu kemana Yos akan membawaku.
Dengan menggunakan motornya, dia membawaku ke sebuah
bukit yang diatasnya terdapat pondok kecil. Kami bisa melihat seisi kota dari
atas bukit ini. Saat tengah menikmati pemandangan, tiba – tiba Yos menepuk
punggungku.
“Bagaimana, apa kau menikmatinya?” tanyanya.
“Ini sangat menenangkan, terima kasih sudah mengajakku
kemari.” Kataku.
Dia membalasnya dengan tertawa dan mulai meletakkan
tangannya diatas kepalaku dan mengacak – ngacak rambutku.
“Hei, apa yang kau ..?” kataku belum sempat terlanjut.
“Sudah lama, aku tak melihat dirimu yang seperti ini.”
Katanya yang sontak membuatku terdiam.
“Sudah kuputuskan, akan mengambil jurusan IT. Dan …”
kalimatnya terhenti.
“Dan ..?” tanyaku.
“Aku akan kuliah diluar kota.” Lanjutnya.
Sempat terdiam beberapa menit, hembusan angin membuatku
sadar.
“Oh, bukankah itu
keputusan yang tepat?” sahutku.
Bukan itu yang sebenarnya ingin ku katakan. Aku ingin
menahannya, tapi aku tak punya hak untuk itu. Aku ingin dia tetap disini.
“Lalu bagaimana dengan hobi murahmu?” lanjutku.
“Aku tetap akan melanjutkannya, disana ada tim yang
sudah menawariku kontrak.” Jawabnya.
“Oh, baguslah. Kapan kau akan berangkat?” tanyaku.
“Pertengahan Juli nanti aku sudah harus tiba disana.”
Tandasnya.
Aku masih punya waktu kurang lebih dua bulan, sebelum
dia pergi. Sisa waktu ini akan kumanfaatkan sebaik – baiknya. Meskipun di lain
sisi, aku juga harus mengurusi persiapan kuliahku nanti.
Siang berganti malam, rasanya waktu berlalu begitu
cepat dan kini yang kulihat hanya cahaya – cahaya lampu yang bertebaran di
sepanjang jalan. Selepas dari bukit itu, dia mengantarku pulang, dan setibanya
dirumah dia mengundangku untuk menonton race
terakhirnya disini, awal Juni nanti. Tentu saja, aku menerima undangan itu.
…
Hari kesepuluh di bulan Juni, aku pergi ke sirkuit
tempat diselenggarakan kejuaraan nasional motocross.
Disana ayah menjadi tenaga relawan untuk tim medis, dan otomatis dia harus
berjaga di tenda medis jika nanti terjadi insiden. Karena hal itu, aku pun
menonton balapan ini sendirian.
Tiba dikelas dimana Yos berada, kelas 110cc. Aku
putuskan untuk menontonnya dari bukit kecil didekat garis start, agar aku bisa melihat semuanya. Sekali lagi, aku melihat
pemandangan yang sama. Diantara delapan pembalap di garis start, hanya satu yang selalu menundukan kepalanya untuk berdoa.
Bendera dikibarkan dan semuanya melaju dengan
kecepatan penuh, putaran demi putaran berlalu, tikungan demi tikungan terlewati
dan Yos kembali menjadi yang pertama menyentuh garis finish. Aku tahu dia hebat, karena dia berbeda dengan pembalap
lain.
Setelahnya, aku langsung menuju ke paddocknya dan memberi ucapan selamat.
Dan dia berkata bahwa ucapan selamatku terlalu awal, karena masih ada dua kelas
lagi yang diperlombakan.
Tiba di kelas 125 cc, ku putuskan untuk pindah di
dekat tenda medis agar bisa berbicara dengan ayah dan bisa melihat lebih dekat
lagi. Memang agak jauh dari garis start,
tapi disini semuanya terlihat lebih jelas.
Yos juga bermain di kelas ini, dan saat bendera
dikibarkan. Semua kembali melaju dengan kecepatan penuh, berusaha saling
mendahului, salib – menyalib agar bisa menempati posisi terdepan.
Di putaran kedua, Yos kelihatan sedang berusaha
menjaga posisi pertama dari pembalap yang berada di belakangnya. Dan terlihat
jelas dia menambah laju motornya, dan saat tiba di tikungan aku tak melihatnya
lagi.
Pandanganku terhalang oleh pepohonan, saat aku
berpindah tempat kulihat marshall
---petugas pemegang bendera--- mengibarkan benderanya tanda ada pembalap yang
jatuh. Para petugas medis langsung berlari membawa tandu untuk membawa pembalap
yang terjatuh itu ke tenda medis.
Perasaanku tak enak, dan saat ku perhatikan lagi
kulihat pembalap yang jatuh itu menggunakan helm berwarna jingga neon. Itu Yos, aku tak bisa melihatnya
karena terhalang oleh kerumunan penonton.
“Kumohon, jangan biarkan terjadi sesuatu yang buruk
padanya …” kataku dalam hati.
Aku langsung menuju ke tenda medis dimana ayah juga
berada untuk melihat kondisi Yos. Salah satu dari krunya membuka helm yang ia
pakai. Dan sangat terlihat ekspresi kesakitan yang ditunjukkan wajah Yos.
Ayahku langsung turun tangan, dan aku bekerja sebagai asistennya.
“Lukanya tak parah, kau bahkan bisa menangani ini
Erin.” Kata ayah.
Mendengarnya membuatku cukup tenang, lalu aku langsung
mengambil P3K untuk mengobatinya. Meskipun kata ayah seperti itu, aku masih
saja merasa khawatir. Yos masih sadarkan diri dan bisa berbicara itu saja sudah
cukup baik.
“Hei, aku belum pernah melihat kau berwajah seperti
itu..” katanya.
“…Kau istirahat saja, jangan terlalu memaksa untuk bicara.”
Pintaku.
Ia membalasnya dengan tersenyum, meski begitu sangat
terlihat kalau ia menahan sakit.
“Jadilah seorang dokter yang baik…” katanya.
Aku terdiam sekaligus terkejut mendengar perkataannya.
Tanpa menjawab aku kembali memeriksa bagian tubuhnya yang lain apa bila ada
luka dalam. Aku menjaganya sampai dia terlelap.
Kejurnas pun selesai. Dan itu adalah balapan terakhir
Yos sebelum di pergi ke luar kota untuk kuliah.
…
Suara keberangkatan pesawat, terdengar sangat jelas.
Dan hari ini aku harus merelakan seorang yang aku kagumi untuk pergi jauh
berada di kota yang berbeda.
“Kita pasti akan bertemu lagi.” Katanya sambil
mengusap kepalaku.
Aku berusaha untuk tetap tersenyum.
“Jaga dirimu yah, semoga kau berhasil disana.”
Sahutku.
Pesawat yang dia tumpangi pun lepas landas.
“Berhati – hatilah!.” Teriakku sambil melambaikan
tangan kearah jendelanya.
Aku kembali ke mobil tempat ayah berada. Dan kami pun
kembali kerumah. Ditengah perjalanan, tak sengaja aku melihat halte bus yang
membuatku teringat akan pertemuan pertamaku dengan Yos.
Bahkan sampai dia pergi perasaanku belum bisa ku
utarakan …
Kuputuskan untuk menahan perasaan ini.
Aku tahu dia disana berusaha melakukan yang terbaik,
karena itu disini aku juga harus melakukan yang terbaik, melakukan semua yang
bisa kulakukan.
Selang satu tahun, aku sudah tiba di semester ketiga
di fakultas kedokteran. Banyak buku dan materi yang harus ku kuasai. Menjadi
seorang dokter tidaklah mudah, pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang butuh
pengorbanan.
Meninggalkan kisah SMA ku, aku fokus dengan apa yang
kujalani dan kupercayai saat ini. Aku punya tujuan untuk menolong orang. Dan
jiwa seseorang itu bukanlah hal yang main – main. Aku mendalami ilmu ini sekuat
yang aku bisa.
Seringkali aku tertidur di meja beralaskan buku dan
materi – materi tentang kedokteran. Aku jadi sering lupa waktu karena terlalu
sibuk dengan urusan kuliahku. Aku tak punya waktu untuk hal yang lain. Dan
tentang rasa yang terkunci dalam hatiku, kuputuskan untuk membuang kuncinya
supaya aku tak mengenang masa – masa itu lagi.
Siang berganti malam, waktu berlalu dengan sangat
cepat. Enam hari lagi merupakan ulang tahunku. Aku tak ingin melakukan sesuatu
mengenai hari ulang tahunku, melihat urusan kuliah yang memakan waktu. Namun
ayah dan ibu ingin merayakan ulang tahunku meskipun hanya acara kecil –
kecilan.
Tiba di hari ke enam belas di bulan Oktober, aku
selalu ingat satu hal. Bukan soal ulang tahunku, tapi tentang seorang gadis
yang hari ini juga merayakan ulang tahunnya. Seorang yang menjadi sahabat
terbaik di masa sulitku dulu.
Aku ingin bertemu dan merayakan ulang tahun bersama
dengannya lagi. Namun sayang sudah sekitar enam tahun aku tak pernah bertemu
dengannya lagi.
“Erin, apa ada yang ingin kau lakukan hari ini? Tanya
ibu.
“Tidak bu, aku hanya ingin berada disini. Bersama
kalian saja itu sudah cukup.” Jawabku.
“Kau tak ingin hadiah, sayang?” tanya ibu sambil tersenyum
kearahku.
Aku hanya diam, membalas senyuman ibu dan
menggelengkan kepalaku tanda tak menginginkan apa - apa. Lalu ayah datang dan
menyambung pembicaraan.
“Meskipun kau tak menginginkannya, tapi ayah dan ibu
sudah menyiapkannya untukmu.” Sahut ayah.
“Ikutlah dengan kami.” Pinta ibu.
“Kita mau kemana? Kenapa harus menggunakan mobil ?”
tanya heran.
Baik ayah maupun ibu, tak ada yang menjawab
pertanyaanku. Mereka seolah tak mendengar kata – kata yang keluar dari mulutku.
Mobil tiba – tiba berhenti di persimpangan. Dan ibu
memintaku untuk menutup mataku menggunakan sehelai kain. Lalu mobil kembali
berjalan, tapi aku tak tahu pergi kearah mana karena diminta untuk menutup
mata.
Masih dalam kondisi mata tertutup, turun dari mobil
mereka mengantarku ke sebuah tempat duduk yang rasanya bergoyang – goyang. Dan
mereka memintaku untuk membuka mata pada hitungan ke tiga.
Satu.., dua.., tiga…
Aku membuka mataku. Suasananya cukup gelap, hanya
diterangi oleh dua lampu jalan. Aku duduk di sebuah ayunan di salah satu taman
bermain. Dan tak seorang pun yang berada di taman ini selain aku, melirik
kearah kanan aku menemukan sebuah kotak hadiah.
“Kau menemukannya!” kata ayah dan ibu.
Tanpa berpikir aku langsung membuka kotak itu, dan
saat kulihat isinya…
“Helm …? Kenapa kalian memberiku helm?” tanyaku heran.
Ayah dan ibu menyuruhku untuk mencoba helm itu.
Kacanya cukup gelap khususnya karena saat ini sudah malam membuatku tak bisa
melihat apapun. Dan saat aku melepas helm itu ayah dan ibu malah menghilang.
Tiba – tiba ada yang menepukku dari belakang.
Seseorang yang menggunakan helm berwarna jingga neon. Yang sedang membawa kue ulang tahun.
“Selamat ulang tahun Erin!.” Sahutnya sambil
memberikan kue ulang tahunnya padaku.
Warna helm itu sepertinya familiar bagiku, dan suara
ini …
Setelah melepaskan helmnya, dia meletakkan tangannya
diatas kepalaku dan mengacak – ngacak rambutku.
“Kau tidak berubah, yah .. ?” katanya.
Sejenak aku terdiam, dan meraih
tangannya yang sedang mengacak - acak rambutku.
“Yoseph, kenapa kau disini? Kapan
kau pulang .. ?” sahutku.
“Apa kau lupa dengan hobi murahku,
Erin?” tampik Yos.
Dia pun menceritakan semuanya, dan
menjelaskan bahwa dia akan mengikuti kejuaraan yang diselenggarakan di daerah
sekitar sini. Kami pun saling berbagi cerita tentang kuliah masing – masing,
dan tanpa terasa kami berbincang hingga larut malam.
Ayah dan ibu sudah pulang lebih
dahulu menggunakan mobil, dan aku di antar pulang oleh Yos. Sepanjang
perjalanan kami tak bicara banyak, aku masih berpikir kenapa dia kembali disaat
seperti ini.
“Dia kembali…”
“Aku sudah membuang kuncinya, tapi aku lupa kalau dia
punya kunci duplikat.” Kataku dalam hati.
Dia kembali membuka rasa yang sudah susah payah ku
kubur dalam – dalam selama satu tahun ini. Hatiku kembali terbuka hanya dalam
hitungan detik. Aku tak yakin apa bisa menahan perasaan ini.
“Apa kau akan tinggal? Atau kau hanya berkunjung
saja?” tanyaku.
“Aku belum bisa menjawabnya.” Jawabnya lugas.
Aku mengerti dengan maksudnya dan mencoba untuk tak
bertanya lagi.
“Mungkin aku akan tinggal beberapa lama.” Katanya.
Aku tak menanggapinya, tapi jujur aku sangat senang
karena dia akan menetap disini meskipun hanya untuk beberapa saat saja.
…
Selama dia disini, dia menghabiskan waktunya dengan
latihan dan mempelajari beberapa buku yang dia bawa. Melihatnya berusaha aku
pun kembali berjuang dengan tugas – tugasku yang sudah menanti di meja
belajarku.
Hari demi hari berlalu aku berhasil melewati semester
ke empat. Dan tanpa kusadari, Yos sudah tinggal disini cukup lama. Dan tiba saatnya
untuk dia kembali ke luar kota.
Aku harus melepaskannya lagi, menghancurkan dinding
yang sudah susah payah ku bangun hanya dengan sebuah kunjungan. Aku harus
mengunci perasaan ini lagi … atau mungkin aku memang harus membukanya. Aku
bimbang…
“Apa kau baik – baik saja?” tanya Yos.
“Hah..? Oh, ya aku baik – baik saja.” Jawabku.
“Kau tidak seperti biasanya.” Katanya.
“Sudah tak apa – apa, kau masih melanjutkan hobi murah
mu kan?” tanyaku setengah bercanda.
Dia tertawa dan menepuk bahuku.
“Yah, akan ada kejurnas di daerah tempatku tinggal.”
Katanya.
“Oh…, berjuanglah! Pastikan kau menang, oke?” sahutku.
Dia tersenyum, melambaikan tangan dan berjalan masuk
ke gerbang keberangkatan.
…
Perjuanganku masih berlanjut, dan akhirnya aku tiba di
semester terakhir. Mahasiswi kedokteran yang menjadi koas di sebuah rumah
sakit. Aku ditempatkan di sebuah rumah sakit yang cukup besar di kota. Dan aku
bertemu dengan banyak kasus di rumah sakit ini.
Banyak yang harus ku tangani, aku ditempatkan di unit
gawat darurat. Disana sangat banyak orang – orang yang mengalami kecelakaan,
khususnya kecelakaan lalu lintas. Setiap hari kau bisa melihat orang yang
berlumuran darah, orang yang tulangnya patah, bahkan orang dengan luka parah
yang bisa berakibat fatal.
Aku mulai terbiasa dengan kondisi ini, aku harus fokus
dengan tujuan hidupku. Aku mengerahkan semua tenaga untuk menolong mereka. Aku
tak akan membiarkan seorang pun mati. Itulah tujuanku sebagai seorang calon
dokter.
Ruang UGD merupakan tempat dimana aku memulai
segalanya sebagai koasisten dokter. Bukan hanya belajar dari materi kuliah tapi
langsung belajar dari rumah sakit. Itulah yang tengah kujalani saat ini.
Karena hal ini aku jadi sering pulang larut malam, dan
tak jarang aku menginap sampai pagi dirumah sakit karena banyaknya pasien yang
harus diobati.
Langkahku untuk menjadi dokter tak semudah membalikkan
telapak tangan. Ada begitu banyak tangga yang harus kunaiki, dan kini aku
berhasil melewati masa kepaniteraan klinik, masa dimana aku belajar langsung
dari rumah sakit.
Tak berhenti disitu aku masih harus menghadapi ujian
terakhir untuk menjadi dokter. Ujian Kompetensi Dokter (UKD), aku harus
mengikuti ujian ini agar bisa mendapat gelar dokter. Dan aku berhasil
melewatinya dengan lancar. Setelah lulus ujian ini, aku secara resmi berhasil
menjadi dokter. Meskipun sudah disumpahi sebagai dokter, masih ada tahapan
terakhir yang harus aku lewati.
Tahapan itu adalah magang, dan aku ditempatkan keluar
kota. Didaerah pelosok, yang cukup jauh dari kota besar. Daerah yang sejuk
dengan pepohonan yang tumbuh disekitar rumah penduduk. Dan aku harus menetap
disana selama kurang lebih satu tahun.
Kali ini aku dituntut meninggalkan keluarga untuk
menolong orang lain, demi meraih impianku sebagai dokter.
Di bulan ketujuh, aku berpamitan dengan ayah dan ibu.
Aku pergi menggunakan pesawat, dan perjalanannya membutuhkan waktu dua jam
untuk tiba di kota itu. Tak berhenti disitu, aku juga harus naik bus selama
satu jam untuk bisa mencapai rumah sakit dimana aku ditempatkan sebagai dokter
magang.
Disini tak begitu banyak pasien luka - luka seperti
yang pernah kuhadapi dulu di UGD. Tapi banyak kutemui warga dengan berbagai
keluhan penyakit yang tak mampu untuk membayar tagihan rumah sakit.
Dan di rumah sakit kecil ini, aku juga bertemu dengan
beberapa dokter magang dari berbagai kota. Kami dibagi menjadi beberapa
kelompok, aku dan rekanku ditempatkan diruangan B10.
Rekanku seorang laki – laki yang berasal dari ibukota.
Namanya Sam. Dia tampak seperti orang yang baik, meskipun jarang berbicara dan
menunjukkan ekspresinya. Kami menangani berbagai keluhan penyakit bersama.
Disini kami para dokter magang tinggal di sebuah rumah
susun, yang khusus untuk ditempati para calon dokter. Penduduk di daerah ini
sangat ramah terhadap para pendatang seperti kami. Mereka bahkan menganggap
kami seperti keluarga mereka sendiri.
Bulan berganti bulan, aku mulai terbiasa dengan adat
dan kebiasaan masyarakat disini. Dan di bulan September seperti ini sering di
adakan festival di daerah sekitar sini. Ada begitu banyak kegiatan dan juga
lomba yang diselenggarakan.
Aku dan Sam sama – sama mengambil cuti untuk minggu
ini karena diundang oleh masyarakat untuk menghadiri kegiatan festival daerah
sini. Merasa tak enak, tentu saja kami menerima undangan mereka.
Menikmati liburan selama seminggu, membuatku ingin
jalan – jalan di sekitar sini. Aku ingin melihat situasi daerah sini lebih
jelas lagi. Sekitar lima menit berjalan, aku menemukan sebuah bukit dan aku
naik ke atasnya. Terlihat sebuah tanah kosong seperti lapangan yang cukup
besar. Tak kusangka di tempat seperti ini terdapat sirkuit balapan.
Dan di akhir September nanti katanya akan dilaksanakan
kejuaraan nasional motocross. Mendengar hal itu membuatku teringat sesuatu…
Sesuatu yang seharusnya sudah ku lupakan dan tak ingin ku ingat – ingat lagi.
Dalam sebuah kejuaraan ---olah raga--- balap, tentunya
membutuhkan tim medis. Sam dan Aku ditunjuk sebagai kepala tim medis di
kejurnas itu.
Bukan suatu kebetulan, saat aku keluar dari tenda
medis aku mendapati sudah banyak penonton yang memenuhi sekeliling sirkuit
padahal perlombaannya nanti akan dimulai sekitar satu jam lagi. Masyarakat
disini kelihatan sangat antusias dengan setiap kegiatan yang dilaksanakan.
Jarum jam menunjukkan pukul satu tepat dan
pertandingannya dimulai. Aku yang dulunya selalu hadir sebagai penonton, kini
harus duduk diam berjaga di tenda medis. Meskipun begitu, aku seringkali keluar
untuk melihat aksi salib – menyalib dari para pembalap.
Di kelas junior
banyak pembalap yang terjatuh, tapi untunglah mereka tak apa – apa dan masih
bisa melanjutkan pertandingan. Dan tiba di kelas 110 cc, entah kenapa
suasananya berubah. Para penonton menyoraki seorang pembalap dengan nomor 94,
dia pembalap yang hebat itulah yang kesan pertamaku saat melihatnya.
“Kau suka hal seperti ini, yah?” ucap Sam.
Aku hanya tersenyum kagum melihat aksi pembalap itu,
tanpa menanggapi ucapan Sam. Saat tiba di dua putaran terakhir tiba – tiba,
petugas marshall mengibarkan
benderanya tanda ada pembalap yang butuh pertolongan.
Sam dengan sigap langsung berlari membawa tandu untuk
mengangkatnya. Dari kejauhan, Sam terlihat seperti mengatakan sesuatu. Saat dia
tengah membawa pembalap yang jatuh tadi menuju tenda medis, dia memintaku untuk
menangani pembalap bernomor 94 yang masih terbaring di arena sirkuit.
“Apa?? Masih ada pembalap lain disana?” sahutku
bergegas membawa kotak P3K.
“Buka helmnya!” pintaku pada kru dari pembalap
bernomor 94 itu.
Saat mereka membuka helmnya, kudapati seorang dengan
wajah yang sangat ku kenal.
“Yoseph, ini kau kan?” kataku dalam hati sambil
memeriksa tangan dan punggungnya.
“Bagaimana kondisinya?” sang kepala kru bertanya.
“Syukurlah dia tak apa – apa. Punggungnya memang
sedikit terbentur tapi aku yakin dia bisa melanjutkan balapan.” Jawabku.
Aku meminta mereka untuk membawa Yos ke paddock, agar penanganannya bisa
dilakukan lebih baik. Aku membuka kotak P3K dan membalut punggungnya.
“Jika dia bisa berdiri, berarti dia bisa lanjut.
Kalian bisa memanggilku di tenda medis jika memang dibutuhkan.” Tandasku.
Saat hendak kembali ke tenda medis, langkahku tiba –
tiba terhenti. Ada yang meraih tanganku dari belakang, sehingga pergerakanku
tertahan.
“Kau sudah bertugas dengan baik dokter Erin.”
Gumamnya.
Aku sempat terdiam, lalu kuputuskan untuk berbalik dan
bicara dengannya. Aku bertanya apa masih ada yang terasa sakit, dan dia hanya
diam. Ku ganti pertanyaanku, apakah ada yang kau butuhkan, namun dia sama
sekali tak merespon. Aku kembali membalikkan badan menuju ke tenda medis.
Dan sekali lagi, dia menahanku.
“Tinggalah disini sampai kelas 125 cc dimulai.”
Pintanya.
“Tapi aku harus berjaga di tenda medis.” Sergahku.
“Aku ingin bicara denganmu.” Tampiknya.
Mengiyakan kemauannya, aku pun tinggal di paddock timnya. Masih ada empat kelas
lagi hingga kelas 125 cc dimulai. Aku tak tahu apa yang akan Sam katakan kalau
dia tahu aku hanya duduk santai disini.
“Sudah dua tahun kita tak bertemu.” Kata Yos padaku.
“Yah, tak kusangka kita akan bertemu di suasana yang
seperti ini.” Ucapku sambil melihat ke arah sirkuit.
“Kau tak berubah yah?” sahutnya sambil tertawa kecil.
“Apanya yang tak berubah?” kataku pada Yos yang masih
tertawa.
“Sepertinya kuliahmu sebentar lagi selesai. Kau pasti
akan menjadi seorang dokter yang hebat nanti.” Ucapnya
“…” aku diam tanpa membalas perkataan Yos.
Lalu aku menceritakan kisahku sebagai dokter magang di
daerah ini, Yos sedikit terkejut ketika aku memberitahunya bahwa aku akan
menetap disini hingga sepuluh bulan kedepan. Tugas lapangan pertamaku sangat
menarik, karena menjadi anggota tim medis untuk pertandingan ini. Ditambah
lagi, karena hal ini aku kembali bertemu dengannya.
Mengembalikan topik pembicaraan aku pun bertanya pada
Yos, “Jadi sekarang nomor yang kau pakai adalah 94?”.
“Kau sepertinya sudah sangat terkenal lewat hobi
murahmu ini. Kau punya skill, bahkan penggemar yang selalu menyorakimu.”
Ucapku.
“Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Itu
saja.” Tandasnya.
“Apa kau butuh obat lagi?” tanyaku.
“Tidak, terima kasih.” Tolaknya.
Kelas 125 cc akan segera dimulai, terdengar jelas dari
pengeras suara yang mulai mengumumkan urutan di garis start.
“Aku percaya kau bisa melakukannya.” Sahutku.
Dia tersenyum. Lalu aku mengambil helmnya dan
memberikan helm itu padanya. Satu hal yang kuharapkan, semoga dia masih
melakukan hal itu sebelum race. Kami
berdua keluar bersama dari paddock,
dia menuju garis start dan aku menuju
tenda medis.
Setibanya di tenda medis, tak ada seorang pun
didalamnya selain alat – alat pengobatan. Saat berniat keluar mencari Sam, tiba
– tiba dia muncul di depan tenda medis dengan ekspresi yang datar.
“Darimana saja kau?” ucapnya.
“Maaf, aku tadi bertemu dengan teman lama dan berbincang
sedikit dengannya.” Jawabku sambil meyakinkan Sam.
“Sudahlah, kau jaga di luar dan aku akan berjaga
didalam sini.” Tandasnya.
Aku setuju, bahkan sangat setuju. Karena jika aku
berada di luar aku bisa menonton racenya.
Aku tak bisa melihat garis start,
karenanya aku berjalan beberapa meter mencari tempat yang bagus untuk menonton.
Aku bisa melihat semuanya dari sini, setiap sudut
sirkuit tanpa terhalang oleh sesuatu. Garis start
juga kelihatan jelas. Dan disana pandanganku terhenti melihat pemandangan yang
sudah sangat kurindukan. Pembalap nomor 94 itu menundukan kepalanya untuk
berdoa.
“Dia masih melakukannya.” Pikirku.
Aku percaya dia masih melakukannya, dan aku yakin
meskipun punggungnya terbentur dia tetap bisa keluar sebagai pemenang. Kelas
terakhir selesai, dan tinggal menunggu pengumuman juara saja. Aku pun kembali
ke tenda medis dimana Sam berada.
“Kelihatannya kau sangat menikmat
tugas ini.” Ucap Sam.
Aku yang mendengar itu hanya bisa
terdiam dan tak bisa membantah apa – apa. Karena yang Sam katakan memang benar.
Aku sangat menikmati tugas lapangan ini.
Sebelum pulang aku pun kembali pergi
ke paddock 94, dimana Yos berada. Aku
kesana untuk mengucapkan selamat karena dia berhasil meraih juara umum di
kejuaraan kali ini. Lalu aku pun mengucapkan salam perpisahan pada Yos beserta
kru – krunya.
“Datanglah berkunjung jika kau mau,
oke?” teriakku sambil melambaikan tangan.
Yos membalasnya dengan tersenyum dan
mengacungkan ibu jarinya. Sama seperti yang biasa dia lakukan sejak dulu.
Selesai berkemas aku dan Sam kembali
ke rumah susun dekat rumah sakit menggunakan mobil ambulans. Aku tak berani
mengajaknya ngobrol karena takut dia masih marah, ditambah lagi yang kupikirkan
saat ini hanyalah orang yang tadi kurawat. Dan sepanjang perjalanan tak ada
yang terdengar, selain suara radio yang Sam putar.
###
Sudut
pandang orang ketiga serba tahu
Bertemu dengannya di sebuah halte
bus merupakan sebuah kebetulan. Saat itu hujan turun cukup deras, dan membuat
Ia harus berteduh. Setengah bagian tubuhnya sudah basah kuyub. Kupinjamkan
payungku agar dia tak menjadi lebih basah.
Wajah dan rambut coklat kemerahannya
tidak berubah. Aku pernah bertemu dengannya. Saat itu ia masih seorang gadis
kecil yang selalu bersama ayahnya. Terlihat dia duduk di paddock seorang pembalap hebat, yang kini sudah menjadi legenda.
Dan dia selalu hadir dalam setiap pertandingan yang di ikuti oleh pamannya itu.
Mungkin dia tak tahu, tapi pamannya
adalah orang yang mengajariku tentang balapan dan membuatku menyukai hobi murah
ini. Pamannya pernah menjadikanku sebagai anggota timnya, dan berada di paddock yang sama.
Dan tak pernah kubayangkan akan
berjumpa lagi dengannya dalam sebuah pertandingan seperti ini. Dia terkejut
melihatku sebagai seorang pembalap, tapi karena hal ini pula berbicara
dengannya jadi lebih mudah. Dia mengerti tentang hobi murah ini.
Seakan – akan hobi ini yang
membawanya padaku. Semenjak dia tahu tentang hal ini, dia selalu hadir dalam
setiap pertandingan dan kejuaraan. Terlihat jelas dari wajahnya dia menyukai hal
yang sama denganku.
Terlepas dari dunia balapan, dia
juga termasuk orang yang selalu berusaha melakukan yang terbaik. Dia gadis
cantik dan cerdas, yang selalu terlihat antusias. Dan dia punya tujuan hidup
yang jelas dan sangat mulia.
Dia hidup untuk menolong orang lain.
Mendengar ayahnya bercerita tentang
bagaimana ia melewati tahap demi tahap untuk meraih sebuah gelar, membuatku
sadar. Perjuangannya masih begitu panjang. Dan aku, tak ingin menghalangi
jalannya sebagai seorang dokter.
###
Sudut
pandang orang pertama pelaku utama
Tiga tahun telah berlalu, tugas
sebagai seorang dokter magang telah kuselesaikan. Dan dengan ini, semua tahap
berhasil kulewati. Seiring berjalannya waktu, kini sudah bulan Oktober. Dalam
hitungan hari aku sudah bebas melakukan tugasku.
Aku dipilih untuk menjadi kepala di
bagian UGD dirumah sakit yang cukup besar di kotaku, tempat dimana aku memulai
karirku sebagai seorang dokter. Dan ini merupakan hadiah ulang tahun terbaik
yang sama sekali tak pernah timbul di pikiranku sebelumnya.
Aku berhasil melewati masa – masa
sulit. Akhir pekan ini, aku memutuskan untuk jalan – jalan di daerah dataran
tinggi. Aku tiba di sebuah bukit yang di dekatnya terdapat tanah lapang yang
begitu kosong tak ditumbuhi pohon maupun tumbuhan lainnya.
“Bagaimana kondisimu sekarang? Apa kau akan kembali?
Apa kau masih melakukan hobi murahmu itu?” Kataku dalam hati sambil melihat ke
arah langit.
Terdengar suara motor dari arah belakang.
Aku berbalik, melihat kearah suara itu berasal.
Kudapati seorang pria yang masih memakai helm duduk di atas sepeda motornya
sambil melambaikan tangan padaku.
Langkah demi langkah, tak sadar aku sudah berjalan
kearahnya. Dia kemudian membuka helmnya. Sontak aku terdiam.
“Erin? Erin?” sahut orang itu.
“…” aku tak menjawab sahutannya.
“Ah, maaf Ayah. Kenapa tiba – tiba berada disini?”
ucapku terkejut.
Aku melihat orang yang melambaikan tangan itu sebagai
Yos, ternyata itu hanya bayanganku saja. Orang itu adalah ayahku sendiri, yang
datang dengan sepeda motor miliknya. Aku terlalu banyak berpikir, sehingga
membuatku berhalusinasi tentangnya.
“Erin, mumpung kau punya waktu. Apa kau ingin pergi
bersama ayah, nak?” tanya ayah sambil tersenyum.
“Tentu saja. Kemana kita akan pergi?” lanjutku sambil
menaiki motor dan memakai helm yang dibawah ayah.
“Kita akan bertugas sebagai tenaga relawan untuk tim
medis, sayang.” Tampik ayah yang sedang menyalakan mesin motornya.
“Tim medis? Tunggu dulu, apa di sekitar sini diadakan
balapan lagi?” sahutku.
Ayah hanya membalas dengan tersenyum dan menganggukan
kepalanya, terlihat dari spion motornya. Aku terkejut disini masih diadakan
kejuaraan seperti dulu. Disisi lain, aku kembali berpikir “Apa aku akan bertemu
dengannya lagi?”.
Kami tiba pukul 12.30, sirkuitnya sudah mulai penuh
dengan penonton dari berbagai jenis umur. Melihatnya, membuatku bernostalgia
dengan masa kecilku yang juga sering menonton hal seperti ini.
“Wah, ternyata masih banyak yang meminati olahraga
ini.” Ucapku kagum.
“Tentu saja, olahraga ini banyak diminati.” Tandas
ayah sambil berjalan masuk ke tenda.
Situasi ini sangat mirip dengan hari dimana aku
bertemu dengan Yos di tenda medis beberapa tahun yang lalu. Suara laju motor,
suara riuhnya penonton yang bersorak. Membuatku kembali teringat akan pembalap
bernomor 94 itu. Dan saat aku berjalan masuk, aku terkejut ada orang didepanku.
“Ah, maaf. Aku tidak melihatmu.” Kataku sambil
membungkuk.
“…” Orang itu tak menjawab permintaan maafku.
“Suara ini, kau Erin bukan?” ucap orang itu.
“Kau mengenalku?” tanyaku.
Ayah yang juga berada di dalam tiba – tiba datang dan
memotong pembicaraan kami.
“Astaga, aku lupa. Perkenalkan ini dokter yang
ditugaskan ditempat ini, namanya Sam. Dialah yang akan membantu kita disini”
Jelas ayah.
Orang itu hanya diam, dan berjalan keluar dari tenda.
Masih terkejut, aku pun menyusulnya dan ikut keluar dari tenda.
“Kenapa kau ada disini?” sahutku.
“Aku diajak oleh ketua panitia kegiatan ini.”
Tandasnya.
“Oh, begitu rupanya. Ku pikir takkan melihatmu lagi
setelah masa magang selesai. Ternyata kita malah bertemu di suasana seperti
ini.” Ucapku sambil menepuk punggungnya.
Dia mengacuhkan perkataanku, dan kembali masuk kedalam
tenda. Tak peduli dengan responnya, aku melihat kearah langit untuk melihat
kondisi cuaca. Langit tampak cerah berawan, yang berarti ini hari yang tepat
untuk balapan.
Aku dan ayah sepakat untuk berjaga diluar, sementara
Sam siaga dalam tenda medis. Karena berada diluar, aku mengambil kesempatan
untuk melihat para pembalap lebih dekat dengan menaiki sebuah timbunan tanah
yang cukup tinggi.
Kali ini, aku melihat pemandangan yang berbeda. Sudah
banyak pembalap yang menundukkan kepala mereka untuk berdoa sebelum balapan
dimulai. Karena setauku, dulu hanya seorang saja yang melakukan hal seperti
itu. Jujur saja aku senang melihat perubahan itu.
Balapan di istirahatkan sejenak untuk pergantian
kelas. Sambil menunggu, aku meminta izin untuk melihat suasana sirkuit. Banyak
yang berubah, paddock yang dulunya
berada di bagian belakang kini pindah ke bagian kanan sirkuit. Dan kini sudah
ada tribun penonton yang cukup besar untuk menampung para penggemar balapan.
Melewati tribun penonton, tiba – tiba terdengar suara
perempuan yang berseru memanggil namaku. Dengan bantuan kursi roda, dia
menghampiriku dan menggenggam kedua tanganku.
“Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi, Erin.” Ucap
perempuan itu.
Aku hanya tersenyum keheranan dan tak tahu harus
bilang apa pada perempuan itu.
“Apa kau lupa? Ini aku Netha.” Sahutnya.
Ekpresiku sontak berubah dan aku langsung mencoba memeluknya.
Setelah itu aku mengajaknya untuk ngobrol sambil jalan – jalan mengelilingi
sirkuit.
“Apa tidak sulit menggunakan kursi roda ditempat
seperti ini?” tanyaku.
Dia hanya tersenyum dan berkata “Aku sudah terbiasa,
satu tahun setelah kau keluar dari rumah sakit aku sudah mulai menggunakan alat
bantu ini.”
Aku keluar dari rumah sakit itu
sudah sekitar belasan tahun yang lalu, dan saat itu aku masih ingat jelas kalau
Netha baik – baik saja. Dan tak ada yang salah dengan kakinya.
“Aku divonis lumpuh permanen oleh dokter, dan semenjak
saat itu aku sudah tak bisa menggerakan kakiku.” Lanjutnya.
Mendengar perkataannya membuat langkahku terhenti.
“Erin?” sahut Netha.
“Ah, maaf.” Ucapku sambil mendorong kursi roda yang
diduduki Netha.
“Maaf yah, kau harus mendengar hal seperti itu.”
Tambah Netha.
Aku hanya tersenyum sambil terus mendorong kursi roda.
Dan saat melewati paddock tiba – tiba
ada seorang laki – laki datang menghampiri kami. Sangat jelas bahwa orang itu
adalah seorang pembalap, aku bisa melihatnya dari pelindung lutut, siku, dan
leher serta helm berwarna kuning neon yang dia pakai.
“Aku mencarimu kemana – mana.” Sahut orang itu sambil
mengusap kepala Netha.
Orang itu langsung mendekat dan menggantikanku
mendorong kursi roda menuju paddock
timnya yang jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.
Melihatnya membuatku sedikit terkejut. Dan lewat
tindakannya aku bisa melihat kalau dia sangat menyayangi Netha. Aku ikut
tersenyum melihat mereka berdua. Setibanya di depan paddock Netha tersenyum seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Oh iya. Perkenalkan ini Erin, dia sahabat masa
kecilku.” Kata Netha mengenalkanku pada orang itu.
“Erin?” tanya orang itu sambil membuka helmnya.
Aku terdiam dan tak bisa tersenyum lagi, wajah orang
ini tak bisa ku kenali karena terhalangi oleh helm. Wajah ini, wajah yang selalu
terbayang dipikiranku. Dia orang yang selalu kunanti bertahun – tahun.
Lalu Netha pun melanjutkan
pembicaraan.
“Dan perkenalkan ini tunanganku, namanya Yoseph kau
juga bisa memanggilnya Yos.” ucap Netha sambil meraih tangan orang yang berada
di sampingnya.
Aku masih terkejut seolah tak bisa menerima semua ini,
pandanganku terahlikan oleh nomor motor yang ada di paddock tempat kami berada sekarang. Dan nomor itu, nomor yang sama
dengan yang kulihat beberapa tahun lalu ‘94’.
Tunangannya adalah orang yang ku nanti selama ini. Aku
tak tahu harus merespon apa, orang yang bertunangan dengan Yos adalah sahabat
terbaik yang pernah ku miliki. Aku mencoba menahan perasaan ini. Aku harus bisa
tersenyum seperti biasa.
“Erin, Erin! Apa kau tak apa – apa?” ucap Netha padaku
yang masih termenung.
“Oh, maaf. Sepertinya aku harus kembali ke tenda.
Terima kasih untuk waktunya Netha, senang bisa bertemu denganmu lagi.” Kataku tergesa – gesa.
Aku harus menjauh, aku tak bisa menahannya.
“Tapi Erin, tunggu..” sahut Netha.
Aku berbalik dan menyapa Yos yang berada tepat di
samping Netha.
“Tolong jaga dia yah, dia sahabat yang sangat berharga
bagiku. Dan untuk kejuaraannya, aku yakin kau pasti memenangkannya.” Kataku
sambil menepuk bahu Yos.
Wajah Yos sama sekali tak berubah, dia
seolah ingin berbicara denganku. Tapi melihat matanya saja aku tak mampu.
“Sampai jumpa, semoga berhasil yah!” teriakku yang
tengah berlari sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
…
Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan paddock itu, di depan sebuah pohon aku
menghentikan langkahku dan mengada ke langit. Tak lagi kulihat langit biru yang
dihiasi awan putih, yang kudapati hanya gumpalan awan mendung yang menutupi
daerah sekitar sini.
Hujan mulai turun membasahi tanah, ku lanjutkan
langkah demi langkah hingga mencapai tenda medis. Aku terdiam di depan tenda, merenung dan
membiarkan diriku diguyur oleh tetes – tetes air yang jatuh dari langit.
“Sejak kapan aku jadi selemah ini?” pikirku.
Aku masih belum bisa menerima ini, aku membiarkan
diriku dibasahi oleh hujan agar tak ada yang melihatku menitihkan air mata.
Ditengah derasnya hujan, aku mendengar suara yang memanggil namaku.
“Erin! Erin! Apa yang sedang kau pikirkan, nak? Kau
bisa jatuh sakit, cepatlah masuk.” teriak ayah dari dalam tenda medis.
Tiba – tiba Sam keluar, dan menarikku masuk ke dalam
tenda. Sebelum aku masuk kedalam tenda, aku berhasil menghentikan tetesan air
mata yang tadinya disamarkan oleh air hujan.
“Jika dokter sakit siapa yang akan merawat pasien yang
membutuhkan bantuan?” tampik Sam sambil melemparkan handuk pengering kearahku.
“Maaf, aku terlalu senang bisa melihat sirkuit dalam
keadaan basah.” Ucapku setengah bercanda.
“Apa kau tak apa – apa Erin?” tanya ayah serius.
Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku. Karena tak
mungkin ku katakan yang sebenarnya kurasakan. Ayah mungkin sudah lupa tentang
Yos, tapi memori akan tetap berbekas pada setiap orang termasuk pada Yos
sendiri.
Suara tetesan air mulai menipis, tanda hujan sudah
mulai redah. Kelas terakhir akan dimulai 10 menit lagi dengan kondisi basah dan
penuh genangan air. Terdengar dari pengeras suara urutan pembalap yang
menempati garis start.
Hatiku sudah mulai tenang, aku sudah bisa
mengatasinya. Sementara itu, ayah memutuskan untuk mengecek kondisi dari setiap
pembalap yang masih berada di paddocknya
masing – masing. Dan yang tersisa di dalam tenda medis hanya aku dan Sam.
“Erin, bisakah aku bertanya sesuatu?” ucap Sam.
“Silahkan saja.” Sahutku.
“Kau seorang dokter tapi menyukai hal – hal berbau
otomotif, jadi harusnya ini menjadi pertanyaan mudah bagimu. Apa kau pernah
melihat helm dan stetoskop berada di meja yang sama?” tanya Sam sambil
merapikan meja yang ada dalam tenda.
“Uhmmm..., sepertinya pernah. Tapi itu sangat jarang
terjadi. Kenapa?” tanyaku heran.
“Kalau cairan infus dan juga oli, apa kau pernah
melihat kedua benda itu berada di tempat yang sama?” lanjutnya.
“Mana mungkin cairan infus dan oli bisa berada di tempat
yang sama?!” tandasku sambil setengah tertawa.
“Bagaimana dengan stetoskop dan kotak P3K?” lanjutnya
sambil tersenyum kearahku.
Aku terdiam beberapa saat untuk berpikir. Dan tak
menjawab pertanyaannya.
“Apa kau mengerti maksudku?” ucap Sam sambil berjalan
kearahku.
Dia membungkuk dan membisikkan sesuatu. Saat dia
mengucapkan kalimatnya, ternyata race untuk kelas terakhir sudah dimulai. Dan
bisikannya tertutup oleh suara motor balap yang melaju melewati tenda medis.
Aku tak sempat mendengarnya.
------------------------------------------TAMAT-------------------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar