STORY "Helmet and Stethoscope"

“Helm dan Stetoskop”
            Jendela yang dibasahi oleh air hujan, merupakan pemandangan yang selalu kulihat tiga hari terakhir ini. Cairan infus yang jatuh tetes demi tetes pun menjadi sesuatu yang biasa bagiku. Aku bagaikan berada dalam penjara dan tak bisa melakukan apa – apa. Aku hanya bisa duduk dan berbaring di kasur, teman bicara pun aku tak punya.
            Minggu pertama di bulan Oktober tepat dua minggu sebelum hari ulang tahunku, aku jatuh sakit dan harus dirawat inap di rumah sakit. Keluarga yang biasa menjagaku kini sedang melakukan aktifitas mereka masing – masing. Ayah dan Ibu bekerja, dan adikku harus sekolah. Yang ada disini hanya para dokter dan perawat.
            “Selamat pagi Erin. Bagaimana kondisimu hari ini?” tanya dokter padaku.
            “Hai dok, seperti biasa aku baik – baik saja.” Jawabku.
            Aku selalu menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban yang sama. “Baik – baik saja” dibalik kalimat itu suasana disini terasa sangat sunyi tanpa teman untuk bicara. Sembari menunggu ayah dan ibu, aku hanya membaca buku cerita yang diberikan oleh dokter yang merawatku. Dan tak jarang aku tertidur bersama dengan buku yang sebenarnya sedang ku baca.
            Suara pintu terbuka pun terdengar dan…
            “Erin, bagaimana kondisimu nak? Ini ibu bawakan kue dan boneka kesukaanmu.”
            Itu merupakan hal yang selalu ibu dan ayah lakukan untukku. Mereka membawakan hal - hal yang kusukai. Mungkin memang menyenangkan memiliki semua itu, tapi yang aku butuhkan bukanlah materi, tapi hal yang berbeda. Aku tak yakin jika mereka mengerti tentang ini.
Pemeriksaan pun kembali dilanjutkan, kondisiku mulai membaik namun kata dokter aku masih harus dirawat inap selama kurang lebih tiga minggu untuk jaga – jaga.
“Oh iya, aku punya kabar gembira untukmu Erin.” Sahut dokter.
“Besok kau akan dipindahkan keruangan Eco, dan disana kau akan bertemu dengan teman baru.”  Tambahnya.
Mendengarnya membuatku sangat senang, dan langsung meminta perawat yang ada untuk memindahkan barang – barangku keruangan Eco.
Keesokan harinya aku pun pindah di ruangan itu, dan sekitar pukul satu siang teman sekamarku datang, dia diantar oleh ibunya. Gadis berambut panjang agak kecoklatan dengan kulit yang tampak pucat. Tanpa ragu, aku langsung tersenyum dan menyapanya.
“Hai, selamat datang. Kau bisa memanggilku Erin.” Kataku.
Dia hanya terdiam dan melihat kearah ibunya lalu membisikan sesuatu.
“Terima kasih atas sambutannya. Perkenalkan namaku Lena, dan ini putriku Netha. Dia memang pemalu, tapi tolong bertemanlah dengannya yah!” kata ibu tersebut.
Aku mencoba untuk mendekatinya tapi dia tidak memberi merespon apa – apa padaku. Lalu seorang perawat datang dan membawakan kami boneka. Tanpa sadar kami sudah bermain bersama, dan perlahan – lahan kami mulai berbincang tentang banyak hal.
“Netha, syukurlah kau pemalunya hanya diawal saja. Upps! Maaf yah, aku orangnya suka kelewatan.” Kataku sambil tertawa kecil.
Tiba – tiba Netha tertawa dan dia berkata…
“Aku senang bisa satu ruangan denganmu Erin.” Jawabnya dengan ramah.
Karena berada dalam satu ruangan kami sering menghabiskan waktu bersama, dan semakin hari kami semakin dekat. Kedekatan kami berdua pun berimbas pada orang tua kami, ibuku dan ibu Netha juga menjadi akrab. Bahkan ada seorang perawat yang berkata bahwa kami terlihat seperti saudara kembar.
Di hari ke enam belas di bulan Oktober, aku terbangun oleh suara hujan di pagi hari. Karena cahaya yang menyinari sudah sukup terang, aku pun membangunkan Netha.
“Netha, Netha… ayo bangun ini sudah pagi!” kataku sambil menggoyangkan lengannya.
Saat Netha terbangun aku langsung mengajaknya melihat pemandangan kota di pagi hari yang dibasahi oleh air hujan. Dan tiba – tiba…, terdengar suara terompet dan nyanyian selamat ulang tahun dari para dokter dan perawat yang membawa hadiah dan balon. Sontak kami terkejut. Lalu kedua orang tua kami pun masuk membawa masing – masing satu kue ulang tahun.
“Loh, kenapa kuenya ada dua?” tanya kami bersamaan sambil memandangi satu sama lain dengan wajah heran.
“Erin, hari ini ulang tahun Netha apa kau tak ingin memberinya ucapan selamat?” tanya ibu.
“Iya Netha, hari ini ulang Erin apa kau tak ingin memberinya hadiah?” tambah Ibu Netha.
Kami berdua kembali saling menatap satu sama lain dengan wajah terkejut.
“Hari ini ulang tahunmu?” tanya Netha padaku.
“Ya begitulah… tunggu dulu, hari ini juga ulang tahunmu Netha? Wah, kenapa bisa sama seperti ini yah?” seruku keheranan.
Mendengar pembicaraan kami berdua seisi ruangan Eco pun dipenuhi oleh tawa dan ucapan selamat. Disamping itu tak pernah kusangka kalau ternyata kami berdua lahir di tanggal, bulan, bahkan tahun yang sama. Aku masih terkejut dan tak percaya kalau teman baikku ternyata lahir bersamaan denganku meskipun di tempat yang berbeda.
Karena hal ini kami pun menjadi semakin dekat bahkan melebihi ikatan saudara kandung. Dan tanpa kusadari hari ini adalah pemeriksaan terakhirku, dan besok aku sudah diperbolehkan untuk kembali ke rumah.
Mendengar hal itu, aku yang seharusnya senang dan antusias untuk pulang malah berubah 180°. Kali ini aku benar – benar tak ingin pulang, aku ingin tetap tinggal disini. Aku ingin tetap bisa bermain dan bersama dengan Netha, tapi keinginanku kali ini tak bisa dipenuhi.
Dengan berat hati, aku pun mengucapkan salam perpisahan dengan Netha dan keluarganya. Saat tiba di lorong rumah sakit aku berbalik dan lari kearah Netha dan langsung memeluknya.
“Kau sahabat terbaikku Netha, aku janji tak akan melupakanmu. Cepatlah sembuh yah!” Kataku sambil menggenggam tangan Netha.
“Yah, aku juga sangat senang bertemu denganmu Erin. Kalau begitu bagaimana kalau kita adakan janji kelingking?” tambah Netha.
Sebagai salam terakhir sebelum berpisah kami pun mengadakan janji kelingking.
Empat tahun berlalu dan aku sudah berada di tahun ketiga di SMA, yang berarti ini adalah tahun terakhirku sebagai seorang siswi.
“Wah, tiba – tiba turun hujan aku harus cari tempat untuk berteduh.” Kataku dalam hati.
Aku pun tiba di salah satu halte bus dekat sekolah, yang sudah penuh sesak dengan orang lain yang sudah lebih dulu sampai ditempat itu.  Walaupun seolah tak berguna, aku tetap berdiri didekat halte itu sambil merelakan seragamku dibasahi oleh hujan yang jatuh dari kanopi halte itu.
“Kalau basah, basah saja deh! Aku tak peduli.” Pikirku.
Tiba – tiba tetesan air hujan itu berhenti. Dengan keadaan seragam setengah basah, aku melihat keatas dan mendapati ada payung merah maroon yang melindungiku dari derasnya hujan. Saat aku memalingkan wajahku untuk melihat orang yang membantuku,  yang bisa kulihat hanya jas almamater dengan logo sekolah yang sama denganku.
“Tt-terima kasih untuk payungnya, tapi nanti kau sendiri bisa kehujanan.” Kataku.
“Sudahlah, tak mungkin kan aku membiarkan seorang perempuan basah sementara aku sendiri punya payung untuk berlindung dari hujan.” Jawabnya dari belakang sambil memegang payung.
Kurang lebih setengah jam, hujan pun berhenti. Orang – orang yang tadi berteduh di halte mulai pergi satu demi satu. Saat aku hendak berterima kasih pada orang tadi, dia malah menghilang. Karena sudah menjelang sore, aku pun memutuskan untuk langsung pulang.
Keesokan harinya sebelum berangkat sekolah, aku memutuskan untuk menonton perkiraan cuaca di TV terlebih dahulu untuk jaga – jaga.
“Cuaca hari ini cerah, dan takkan ada hujan untuk hari ini.” Kataku kegirangan sambil berjalan kearah stasiun.
Pelajaran selesai dan lanjut dengan kegiatan ekstrakurikuler. Setelahnya aku langsung pulang, berjalan menuju stasiun. Ditengah perjalanan tiba – tiba turun hujan deras, seperti kemarin.
  “Apa maksudnya ini? Di TV dikatakan cuacanya cerah!” keluhku sambil berlari ke arah teras sebuah café untuk berteduh.
Hembusan angin membuatku semakin basah. Dan tiba – tiba, ada seorang laki – laki yang berada di sampingku melepaskan jacketnya, mendekatiku dan menggunakan jacketnya untuk melindungiku dari tetes air hujan. Sekilas aku kembali teringat dengan kejadian di halte bus kemarin.
“Apa orang ini yang meminjamkan payungnya padaku kemarin?” pikirku.
Tanpa ragu aku meraih tangannya dan membuat jacket itu menutupi sebagian dari tubuhnya yang tinggi.
“Hei, apa yang kau lakukan?” tanya orang itu.
“Tak adil kalau aku sendiri kering, dan kau basah kuyub.” Sahutku.
Dia mulai mencoba memindahkan posisi jacketnya agar aku tak basah, tapi sekali lagi aku meraih tangannya dan mengembalikan posisi tadi dimana kami berdua terlindung dari hujan meskipun hanya sebagian tubuh.
Sampai hujan berhenti aku tak melepas tangannya yang memegang jacket itu. Aku berniat menahannya agar bisa berterima kasih seutuhnya pada orang itu.
“Terima kasih untuk bantuannya …, siapa namamu?” tanyaku spontan.
“Oh, maaf aku kelewatan yah?” tanyaku.
“Bukan masalah. Namaku Yos.” Jawabnya sambil memalingkan wajah.
Aku pun memperkenalkan diriku dan sekali lagi berterima kasih padanya dan berpisah. Dia pergi lebih dulu, sementara masih harus tinggal menunggu jemputan ayahku. Saat tengah menunggu tiba – tiba, mataku tertuju pada benda yang hampir ku injak.
Itu sebuah dompet berwarna coklat tua, dan saat ku periksa kartu identitasnya ternyata milik siswa sekolah yang sama denganku yang bernama Yoseph. Ini milik orang yang menolongku, dan aku harus mengembalikan barang ini padanya.
Karena di kartu identitas siswa tercantum kelasnya, aku pun memutuskan untuk langsung menemuinya dan mengembalikan dompet ini. Tapi saat tiba di kelasnya, dia tak ada. Dia sedang izin, kata seorang siswa dari kelas itu.
Dengan tidak hadirnya dia, aku pun kembali menahan dan membawa pulang dompet itu. Dan karena bosan, aku pun mengeluarkan semua isi dari dompet itu. Aku memeriksa semuanya, terkecuali untuk uang aku tak mau menyentuhnya sama sekali.
Keesokan harinya, aku kembali mencari tapi dia masih belum hadir di sekolah. Karena sepertinya tak memungkinkan untuk mengembalikan dompetnya minggu ini, aku pun memilih untuk mengembalikannya minggu depan.
“Oh tidak, bus terakhir akan segera pergi aku harus cepat agar tidak terlambat.” Kataku sambil berlari kearah halte bus.
“BUK!!!” --- Aku menabrak seseorang ---
“Awww, maaf aku tak sengaja.” Kataku sambil mengambil headset yang terlempar ke trotoar.
“Loh, kamu Yos kan? Aku mencarimu selama ini, kau darimana saja?” kataku terkejut.
“Kau? Mencari ku untuk apa?” jawabnya.
Bus yang hendak aku naiki pun menutup pintunya dan pergi begitu saja.
“Oh tidak, busnya! Ah, aku terlambat.” Sahutku.
“Hei, kau belum menjawab pertanyaanku.” tambahnya.
“Aku tak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang, gerbang sekolah akan segera ditutup.” Kataku gusar.
Beberapa menit terdiam, Yos pun mengenakan kembali headseatnya dan berjalan pergi menjauhi halte.
“Hei, kau mau kemana?” tanyaku sambil berlari mencoba menyusulnya.
“Tentu saja kesekolah, kemana lagi?” tungkasnya.
“Tapi bukankah terlalu jauh jika hanya dengan jalan kaki?” tanyaku.
“Lebih baik seperti ini daripada harus menunggu bus selanjutnya, bukan?” katanya.
Aku terdiam dan mulai berjalan bersamanya menuju sekolah. Memang jaraknya cukup jauh, tapi sudahlah tak ada salahnya jalan kaki kesekolah. Ditengah perjalanan aku teringat sesuatu yang cukup penting.
“Oh iya!” sahutku.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ini milikmu kan, Yos-seph?? Tanyaku sambil memberikan dompet yang ku temukan didepan café.
Yos langsung mengambil dompetnya dan menyimpannya disaku belakangnya.
“Kau tidak memeriksanya?” tanyaku.
“Memangnya kenapa, apa kau melakukan sesuatu terhadap dompetku?” tungkasnya.
Mendengarnya membuatku kesal, bukannya berterima kasih malah menuduhku yang tidak – tidak. Aku pun mempercepat langkahku meninggalkan Yos dibelakang.
“Hei kau!” seru Yos dari belakang.
Aku tetap mempercepat langkahku dan tak berpaling kearahnya. Samar – samar terdengar suara langkah kaki yang semakin cepat. Sepertinya dia mencoba mengejarku.
“Iya, iya terima kasih. Maaf karena sudah menuduhmu.” Katanya.
Sejenak aku terdiam. Dan menjelaskan kronologis aku menemukan dompet itu.
“Wah,wah,wah… tiga hari ini aku mencari barang ini kemana – mana ternyata ada padamu yah?.” Tampik Yos dengan nada bercanda.
“Kau seharusnya bersyukur aku yang menemukan dompetmu. Selain itu, kau kemana saja minggu lalu? Padahal aku ingin mengembalikan dompetmu tapi kau sendiri malah tak hadir di sekolah.” Lanjutku.
“Aku sedang ada keperluan waktu itu. Lagipula aku juga sudah minta izin pada wali kelasku.” Jawabnya tegas.
“Keperluan? Memangnya apa itu sampai harus minta izin hingga tiga hari?” ucapku.
Yos hanya diam seolah tak mendengar pertanyaanku.
Tanpa terasa kami sudah berjalan cukup jauh dan tinggal dua belokan lagi kami akan tiba disekolah. Dan karena keenakan ngobrol kami jadi lupa waktu dan berjalan dengan santai. Padahal tinggal beberapa menit lagi gerbang sekolah akan ditutup.
“Okee! Tinggal satu belokan lagi kita akan sampai.” Kataku bersemangat.
Yos pun melihat arloji ditangan kirinya. Dan ekspresinya tiba – tiba berubah, dia meraih tanganku dan mulai berlari. Dia berlari cukup cepat dan membuatku seolah – olah terseret olehnya.
“Hei, ada apa?” tanyaku sambil mencoba untuk terus berlari mengimbangi kecepatan larinya.
Yos hanya terus berlari --- menyeretku --- dan sekali lagi dia tak menanggapi pertanyaanku.
Sesampainya disekolah, untunglah gerbang belum ditutup oleh security sekolah. Tapi dia tak mengizinkan kami masuk begitu saja. Setelah mengunci gerbang dia membawa kami masuk menuju ke ruang BK.
“Kalian terlambat tujuh menit, dan harus menghadap guru BK.” Kata security itu.
“Apa?” tanyaku.
 Setibanya di ruang BK, kami langsung dihukum untuk membersihkan taman oleh salah satu guru BK yang juga merupakan guru piket hari ini. Mau tidak mau kami harus melakukannya.
“Hei Yos! Kau tidak merespon pertanyaanku daritadi.” Teriakku sambil memegang sapu.
“Sudahlah selesaikan saja hukuman ini.” Tandasnya.
Aku terdiam dan melanjutkan menyapu daun – daun kering yang jatuh di daerah taman. Meskipun dalam kondisi diam, sebenarnya aku memikirkan banyak hal. Semua yang kami bicarakan sepanjang perjalanan tadi, khususnya saat dimana Yos tiba – tiba menyeretku berlari kearah sekolah.
“Yos, memangnya keperluan apa yang membuatmu izin sampai tiga hari?” tanyaku lagi.
“Kau masih ingin tau? Apa kau sepenasaran itu? Itu karena hobi.” Lanjutnya.
“Hobi?? Hobi apa yang memakan waktu tiga hari? Tanyaku keheranan.”
“Sudahlah, ayo cepat selesaikan tugasmu.” Katanya menutup pembicaraan.
Melihat responnya yang seperti itu, aku mempercepat pergerakanku dan tanpa sengaja aku menjatuhkan keranjang sampah yang sudah kami isi penuh dengan daun – daun kering yang tadi kami bersihkan.
“Aah, maaf, maafkan aku.” Kataku dengan lembut.
Karena kecerobohanku kami berdua harus kembali membersihkan taman untuk kedua kalinya dan kali ini aku harus lebih hati – hati. Saat tengah memindahkan daun – daun kering, tak sengaja tatapanku bertemu dengan tatapan Yos.
“Ada apa? Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku.
“Kau ternyata punya sisi lembut juga yah?” jawabnya sambil tersenyum.
Kata – kata dan senyumannya sontak membuatku terdiam, menyembunyikan wajah dengan menunduk. Berbeda dari sebelumnya entah kenapa kali ini Yos yang memulai pembicaraan.
“Kau ingin tahu hobiku? Itu hanyalah hobi biasa, hobi yang murah.” Katanya.
Merespon perkataanya aku kembali mengangkat kepalaku dan mencoba menebak hobi murah macam apa yang bisa memakan waktu hingga tiga hari.
Hukuman kami pun selesai dan kami kembali ke kelas masing – masing.
Hari demi hari berlalu, akhirnya aku tiba di liburan musim panas.
“Uhmmm…, liburan seperti ini bagusnya melakukan apa yah?” pikirku.
Aku tak punya rencana kemana – mana. Berbeda dengan teman – teman sekelasku yang pergi liburan ke luar kota dan pulang ke kampung halaman mereka. Aku sama sekali tak melakukan apa – apa dirumah, dan rasanya sangat membosankan.
“Erin, kau tidak keluar untuk jalan – jalan, nak?” tanya Ibu.
“Tidak bu. Aku tak punya rencana untuk keluar rumah minggu ini.” Jawabku.
“Minggu ini yah? Bagaimana kalau Erin ikut dengan ayah saja?” seru Ayah.
“Memangnya mau kemana, yah?” tanyaku.
“Jumat nanti, ikut saja dengan ayah. Ayah punya hal baru yang mungkin bisa menarik perhatianmu.” Tambahnya.
Karena tak tahu harus kemana, aku pun memutuskan untuk ikut bersama ayah. Dan seingatku terakhir kali aku menghabiskan waktu berdua dengan ayah itu sekitar enam tahun yang lalu. Jadi menurutku tak ada salahnya jika, aku menerima ajakannya.
Hari Jumat pun tiba …
“Erin, apakah kau sudah selesai ? Kita akan segera berangkat, jangan lupa memakai helm-mu!” pinta ayah.
“Helm? Kita akan menggunakan motor?” lanjutku.
“Ya, cepatlah.” Tandaas ayah.
Sekitar dua jam perjalanan kami tiba di sebuah daerah didataran tinggi, dan samar – samar terdengar satu jenis suara dalam jumlah banyak.
“Ayah, kita mau kemana? Dan bukankah itu suara mot- …” belum selesai bertanya ayah langsung memotong perkataanku.
“Ya, itu suara motocross.” Jawabnya lugas.
Ternyata dugaanku benar itu suara motor balap. Sudah lama aku tak mendengarnya. Aroma asap dan tanah yang bercampuran, itu bau yang familiar untukku. Berada disini rasanya seperti bernostalgia dengan masa saat aku masih duduk di sekolah dasar.
 Aku mengenal hal ini dari ayah, pamanku yang adalah kakak kandung dari ayahku merupakan seorang pembalap. Dan sejak kecil aku selalu mengikuti ayah untuk menonton dan mendukung paman di setiap pertandingan.
Mungkin hal ini cukup aneh untuk kebanyakan gadis remaja seumuranku, tapi jujur saja aku lebih menyukai hal seperti ini daripada hal – hal feminim yang sering dilakukan oleh teman – temanku.
Hobi ini terhenti semenjak aku harus dirawat inap di rumah sakit sekitar empat tahun yang lalu. Penyakitku membuat ayah dan ibu harus bekerja lebih keras agar bisa memenuhi biaya pengobatanku.
Dan untunglah, ayah sangat mengenal diriku. Dia kembali membangkitkan jiwaku yang menyukai hal – hal otomotif. Dan di race kali ini, aku dan ayah mendapat posisi yang sangat strategis untuk menonton. Yakni dekat dengan garis start, namun jarak pandangnya bisa sampai ke ujung sirkuit.
Aku sangat menikmati menonton balapan. Melihat pembalap yang satu melewati pembalap yang lain itu sangat menarik bagiku. Dan selain itu, ada satu hal yang tak bisa jauh dari dunia balapan yaitu kecelakaan dan tabrakan.
Melihat kejadian seperti itu, seringkali membuatku ingin menjadi seorang yang bisa berguna bagi orang lain. Aku ingin hidup untuk menolong orang lain yang butuh pertolongan. Bekerja di dunia medis entah itu dokter ataupun sebagai seorang perawat adalah impianku.
Ayah merupakan orang yang punya pengalaman tentang dunia medis. Seringkali ia membantu beberapa pembalap junior yang terluka. Karena itu, tak jarang ayah juga masuk kedalam tenda medis. Karena ayah masuk, tentu saja aku juga ikut masuk.
Dan saat masuk kedalam tenda itu, aku mendapati seorang pembalap junior yang sedang kesakitan karena terlibat insiden tabrakan. Aku juga memperhatikan kondisi didalam tenda, dan tak sengaja pandanganku terhenti pada helm berwarna kuning neon yang terletak diatas meja.
Warna helmnya sangat mencolok dan menjadi pusat perhatian dalam tenda ini.
“Erin, ambilkan perban yang ada di P3K diatas meja itu!.” Pinta ayah.
Setelah selesai mengobati ayah pun keluar dari tenda dan berbicara dengan manajer dari pembalap itu. Aku masih tetap didalam, ditugaskan untuk menjaga si pembalap junior. Setelah memastikan dia hanya butuh istirahat, aku pun berniat keluar dan kembali menonton racenya. Belum sempat keluar, tiba – tiba ada pembalap lain yang masuk dan langsung mendekati pembalap junior yang sedang dirawat.
“Apa dia tak apa – apa?” tanya orang yang baru masuk itu.
“Ya, lukanya sudah diobati. Dan untuk saat ini, dia hanya butuh istirahat yang cukup.” Jelasku pada pembalap yang tadi masuk masih menggunakan helm.
            Pandanganku kembali terhenti pada helm pembalap ini, yang warnanya sangat mencolok hampir sama dengan helm pembalap yang tadi ayah rawat. Tapi kali ini warnanya jingga neon. Dan, dalam hitungan detik tiba - tiba pembalap ini melepaskan helmnya.
            “Untunglah kau tak apa – apa…” kata pembalap itu.
            “Yos-, Yoseph? Apa itu kau?” tanyaku terkejut.
            “Loh, Erin? Apa yang kau lakukan disini?” Yos balik bertanya.
            Didalam tenda medis, kami berdua sama-sama terkejut karena bisa bertemu ditempat dan situasi seperti ini.
“Kau seorang pembalap? Tunggu dulu jangan bilang, hobi murah yang membuatmu menghilang selama tiga hari itu adalah … ?” tanyaku heran.
“Sepertinya aku sudah tak bisa mengelak lagi.” Katanya sambil meletakkan helm disamping kotak P3K.
Selama kurang lebih empat puluh lima menit kami berdua membahas tentang balapan, dan membicarakan juniornya yang sedang terbaring lemah dalam tenda medis.
“Kau sepertinya sudah sangat tahu tentang hal seperti ini…” kata Yos sambil mengambil helmnya dan berjalan keluar dari tenda medis.
“Ahahaha…, tidak juga. Ini hanya hal yang kuminati, sama seperti kau menyukai hobi murahmu.” Kataku.
Yos hanya ternyum, berjalan kearah paddock dan melambaikan tangannya pada kami yang berada di sekitar tenda medis.
“Berjuanglah!” teriakku.
Yos memakai helmnya dan mengacungkan jari jempolnya kearahku, seolah seperti dia menjawabku dengan kalimat “Ok, siap.”
“Erin, kau mengenalnya nak?” tanya ayah yang tiba – tiba mendekatiku.
“Ah ayah, mengejutkanku saja kerjaannya. Ya… bisa dibilang begitu, kami teman satu sekolah.” Jawabku.
Tiba dikelas 110 cc, kelas dimana Yos berada. Aku dan ayah langsung mendekati garis start untuk melihat para pembalap. Dan saat sedang menunggu bendera dikibarkan, aku tak sengaja melihat seorang pembalap menundukan kepalanya untuk berdoa.
Aku kagum padanya, karena dia berbeda. Saat yang lain tengah sibuk mempersiapkan motornya, dia malah menunduk dan berdoa. Dan pembalap itu mengenakan helm berwarna jingga neon. Ternyata dia adalah Yos. Satu – satunya orang yang ku kenal di garis start itu.
Tak pernah kubayangkan bahwa Yos yang kukenal adalah orang seperti ini.
Putaran demi putaran berlalu, dan akhirnya dia keluar sebagai pemenang. Melihatnya menang membuatku sangat gembira, tapi ucapan selamatku harus menunggu karena kami harus kembali merawat juniornya di tenda medis.
Aku keluar sejenak untuk mencari udara segar. Dan yang kutemui hanya bau asap, tanah dan rumput yang bercampuran dan meskipun begitu aku menyukai aroma ini. Suara daun yang saling bergesekan karena hembusan angin membuatku sangat tenang.
Tiba – tiba pipiku terasa disentuh oleh sesuatu yang dingin, dan …
“Ini minumlah!” pinta Yos yang mengoper minuman kaleng padaku.
“Oh, terima kasih, ngomong –ngomong kau sepertinya sudah sangat hebat dalam bidang ini, bahkan keluar sebagai seorang pemenang.”
Yos hanya terdiam , lalu meletakkan tangannya diatas kepalaku dan mengusapnya. Aku terkejut, dan saat melihat kearahnya aku mendapati dia sedang tersenyum. Dan ini merupakan kedua kalinya aku melihat dia tersenyum, setelah kejadian membersihkan taman sekolah.
Entah kenapa, aku merasa seperti ada yang berbeda.
Hubungan kami mulai berubah.
Kembali ke sekolah, sebagai siswa tahun terakhir rasanya sangat menyusahkan. Aku akan menghadapi ujian bertubi – tubi, untuk itu aku harus memperbanyak porsi belajarku. Dan aku tau, aku harus berpikir lebih dewasa dan lebih teliti lagi. Khususnya pemikiran tentang universitas beserta fakultas dan jurusan yang akan kupilih.
Aku tak punya cita – cita tapi, aku punya tujuan hidup yaitu untuk menolong orang lain. Dan profesi yang cocok untuk hal itu adalah …. Dokter. Keputusanku sudah bulat dan takkan berganti lagi.
Aku ingin menolong sesama … hanya itu yang terlintas dibenakku.
Teman – teman sekelasku sudah memutuskan untuk kuliah di luar maupun dalam kota atau langsung  bekerja. Dan aku lebih memilih untuk tinggal didalam kota.
Seusai kegiatan ekskul aku berencana untuk langsung pulang, tapi tiba – tiba aku dipanggil wali kelasku untuk konsultasi dan mengurus berkas – berkas yang diperlukan untuk masuk ke perguruan tinggi nanti. Dan itu benar - benar memakan waktu.
Detik demi detik berlalu, dan hari sudah semakin gelap…
Saat aku tengah berjalan sendirian menuju stasiun, tiba – tiba terdengar suara klakson dari belakang.
“Naiklah! Kau akan kuantar.” Seru pengendara motor itu.
“Suara ini? Yos-seph bukan?” kataku.
“Ya, ini aku. Ayo naik, hari sudah semakin gelap dan dingin.” Jawabnya.
Aku pun menerima tawaran Yos untuk mengantarku. Aku yakin dia orang yang baik, dan aku percaya padanya. Lagipula ayah juga sudah mengenalnya semenjak race terakhir.
Di tengah heningnya malam, dia melaju dengan kecepatan normal. Dan menurutku kecepatan ini berbanding terbalik dengan Yos yang adalah seorang pembalap yang biasanya melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, dan menikmati angin malam.
“Tumben kau diam. Apa kau kedinginan? Aku membawa sweater, kau bisa memakainya.” ucap Yos.
“Tidak, tak usah. Aku sudah biasa dengan udara dingin.” Tampikku.
Tiba – tiba dia menghentikan motornya.
“Meskipun begitu, kau harus tetap menggunakannya. Ini pakailah, agar kau bisa lebih hangat.” Lanjut Yos sambil mengeluarkan sweater dari tasnya.
“Bagaimana denganmu?” tanyaku.
“Sudah, tak usah dipikirkan.” jawab Yos santai.
Diperjalanan pulang kami membicarakan banyak hal. Dan sebagai topik terakhir kami membahas tentang perguruan tinggi, kami saling berbagi cerita tentang universitas dan jurusan – jurusan yang kami minati.
Aku sendiri sudah memilih akan lanjut kemana. Meskipun memang masih agak ragu. Dan aku yakin dia juga sudah memilih dan mengambil keputusan.
Kami akhirnya tiba di depan rumahku, dan sebelum berpisah tentu saja aku berterima kasih.
            “Tak usah bimbang, percayalah kata hatimu” katanya sambil mengusap kepalaku di depan pintu pagar rumahku.
            Tak hanya mengusap dia juga mengelus rambutku. Dia melakukannya sekali lagi. Tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau kami akan jadi sedekat ini. Satu hal yang timbul dipikiranku.
“Dia berbeda …”
Akhirnya aku sadar bahwa dia punya tempat spesial di hatiku.
Hari – hari berlalu, kami jadi sering melakukan berbagai hal bersama. Aku juga sering menghadiri race yang dia ikuti ---meskipun seringkali aku datang bersama ayah--- . Bukan hanya sering, tapi sepertinya aku selalu mengikutinya kemana pun ia pergi.
Di hari ke delapan, bulan Mei. Yos mengajakku untuk pergi bersama. Katanya ada yang perlu dia bicarakan, dan jujur aku sendiri tak tahu kemana Yos akan membawaku.
Dengan menggunakan motornya, dia membawaku ke sebuah bukit yang diatasnya terdapat pondok kecil. Kami bisa melihat seisi kota dari atas bukit ini. Saat tengah menikmati pemandangan, tiba – tiba Yos menepuk punggungku.
“Bagaimana, apa kau menikmatinya?” tanyanya.
“Ini sangat menenangkan, terima kasih sudah mengajakku kemari.” Kataku.
Dia membalasnya dengan tertawa dan mulai meletakkan tangannya diatas kepalaku dan mengacak – ngacak rambutku.
“Hei, apa yang kau ..?” kataku belum sempat terlanjut.
“Sudah lama, aku tak melihat dirimu yang seperti ini.” Katanya yang sontak membuatku terdiam.
“Sudah kuputuskan, akan mengambil jurusan IT. Dan …” kalimatnya terhenti.
“Dan ..?” tanyaku.
“Aku akan kuliah diluar kota.” Lanjutnya.
Sempat terdiam beberapa menit, hembusan angin membuatku sadar.
“Oh, bukankah  itu keputusan yang tepat?” sahutku.
Bukan itu yang sebenarnya ingin ku katakan. Aku ingin menahannya, tapi aku tak punya hak untuk itu. Aku ingin dia tetap disini.
“Lalu bagaimana dengan hobi murahmu?” lanjutku.
“Aku tetap akan melanjutkannya, disana ada tim yang sudah menawariku kontrak.” Jawabnya.
“Oh, baguslah. Kapan kau akan berangkat?” tanyaku.
“Pertengahan Juli nanti aku sudah harus tiba disana.” Tandasnya.
Aku masih punya waktu kurang lebih dua bulan, sebelum dia pergi. Sisa waktu ini akan kumanfaatkan sebaik – baiknya. Meskipun di lain sisi, aku juga harus mengurusi persiapan kuliahku nanti.
Siang berganti malam, rasanya waktu berlalu begitu cepat dan kini yang kulihat hanya cahaya – cahaya lampu yang bertebaran di sepanjang jalan. Selepas dari bukit itu, dia mengantarku pulang, dan setibanya dirumah dia mengundangku untuk menonton race terakhirnya disini, awal Juni nanti. Tentu saja, aku menerima undangan itu.
Hari kesepuluh di bulan Juni, aku pergi ke sirkuit tempat diselenggarakan kejuaraan nasional motocross. Disana ayah menjadi tenaga relawan untuk tim medis, dan otomatis dia harus berjaga di tenda medis jika nanti terjadi insiden. Karena hal itu, aku pun menonton balapan ini sendirian.
Tiba dikelas dimana Yos berada, kelas 110cc. Aku putuskan untuk menontonnya dari bukit kecil didekat garis start, agar aku bisa melihat semuanya. Sekali lagi, aku melihat pemandangan yang sama. Diantara delapan pembalap di garis start, hanya satu yang selalu menundukan kepalanya untuk berdoa.
Bendera dikibarkan dan semuanya melaju dengan kecepatan penuh, putaran demi putaran berlalu, tikungan demi tikungan terlewati dan Yos kembali menjadi yang pertama menyentuh garis finish. Aku tahu dia hebat, karena dia berbeda dengan pembalap lain.
Setelahnya, aku langsung menuju ke paddocknya dan memberi ucapan selamat. Dan dia berkata bahwa ucapan selamatku terlalu awal, karena masih ada dua kelas lagi yang diperlombakan.
Tiba di kelas 125 cc, ku putuskan untuk pindah di dekat tenda medis agar bisa berbicara dengan ayah dan bisa melihat lebih dekat lagi. Memang agak jauh dari garis start, tapi disini semuanya terlihat lebih jelas.
Yos juga bermain di kelas ini, dan saat bendera dikibarkan. Semua kembali melaju dengan kecepatan penuh, berusaha saling mendahului, salib – menyalib agar bisa menempati posisi terdepan.
Di putaran kedua, Yos kelihatan sedang berusaha menjaga posisi pertama dari pembalap yang berada di belakangnya. Dan terlihat jelas dia menambah laju motornya, dan saat tiba di tikungan aku tak melihatnya lagi.
Pandanganku terhalang oleh pepohonan, saat aku berpindah tempat kulihat marshall ---petugas pemegang bendera--- mengibarkan benderanya tanda ada pembalap yang jatuh. Para petugas medis langsung berlari membawa tandu untuk membawa pembalap yang terjatuh itu ke tenda medis.
Perasaanku tak enak, dan saat ku perhatikan lagi kulihat pembalap yang jatuh itu menggunakan helm berwarna jingga neon. Itu Yos, aku tak bisa melihatnya karena terhalang oleh kerumunan penonton.
“Kumohon, jangan biarkan terjadi sesuatu yang buruk padanya …” kataku dalam hati.
Aku langsung menuju ke tenda medis dimana ayah juga berada untuk melihat kondisi Yos. Salah satu dari krunya membuka helm yang ia pakai. Dan sangat terlihat ekspresi kesakitan yang ditunjukkan wajah Yos. Ayahku langsung turun tangan, dan aku bekerja sebagai asistennya.
“Lukanya tak parah, kau bahkan bisa menangani ini Erin.” Kata ayah.
Mendengarnya membuatku cukup tenang, lalu aku langsung mengambil P3K untuk mengobatinya. Meskipun kata ayah seperti itu, aku masih saja merasa khawatir. Yos masih sadarkan diri dan bisa berbicara itu saja sudah cukup baik.
“Hei, aku belum pernah melihat kau berwajah seperti itu..” katanya.
“…Kau istirahat saja, jangan terlalu memaksa untuk bicara.” Pintaku.
Ia membalasnya dengan tersenyum, meski begitu sangat terlihat kalau ia menahan sakit.
“Jadilah seorang dokter yang baik…” katanya.
Aku terdiam sekaligus terkejut mendengar perkataannya. Tanpa menjawab aku kembali memeriksa bagian tubuhnya yang lain apa bila ada luka dalam. Aku menjaganya sampai dia terlelap.
Kejurnas pun selesai. Dan itu adalah balapan terakhir Yos sebelum di pergi ke luar kota untuk kuliah.
Suara keberangkatan pesawat, terdengar sangat jelas. Dan hari ini aku harus merelakan seorang yang aku kagumi untuk pergi jauh berada di kota yang berbeda.
“Kita pasti akan bertemu lagi.” Katanya sambil mengusap kepalaku.
Aku berusaha untuk tetap tersenyum.
“Jaga dirimu yah, semoga kau berhasil disana.” Sahutku.
Pesawat yang dia tumpangi pun lepas landas.
“Berhati – hatilah!.” Teriakku sambil melambaikan tangan kearah jendelanya.
Aku kembali ke mobil tempat ayah berada. Dan kami pun kembali kerumah. Ditengah perjalanan, tak sengaja aku melihat halte bus yang membuatku teringat akan pertemuan pertamaku dengan Yos.
Bahkan sampai dia pergi perasaanku belum bisa ku utarakan …
Kuputuskan untuk menahan perasaan ini.
Aku tahu dia disana berusaha melakukan yang terbaik, karena itu disini aku juga harus melakukan yang terbaik, melakukan semua yang bisa kulakukan.
Selang satu tahun, aku sudah tiba di semester ketiga di fakultas kedokteran. Banyak buku dan materi yang harus ku kuasai. Menjadi seorang dokter tidaklah mudah, pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang butuh pengorbanan.
Meninggalkan kisah SMA ku, aku fokus dengan apa yang kujalani dan kupercayai saat ini. Aku punya tujuan untuk menolong orang. Dan jiwa seseorang itu bukanlah hal yang main – main. Aku mendalami ilmu ini sekuat yang aku bisa.
Seringkali aku tertidur di meja beralaskan buku dan materi – materi tentang kedokteran. Aku jadi sering lupa waktu karena terlalu sibuk dengan urusan kuliahku. Aku tak punya waktu untuk hal yang lain. Dan tentang rasa yang terkunci dalam hatiku, kuputuskan untuk membuang kuncinya supaya aku tak mengenang masa – masa itu lagi.
Siang berganti malam, waktu berlalu dengan sangat cepat. Enam hari lagi merupakan ulang tahunku. Aku tak ingin melakukan sesuatu mengenai hari ulang tahunku, melihat urusan kuliah yang memakan waktu. Namun ayah dan ibu ingin merayakan ulang tahunku meskipun hanya acara kecil – kecilan.
Tiba di hari ke enam belas di bulan Oktober, aku selalu ingat satu hal. Bukan soal ulang tahunku, tapi tentang seorang gadis yang hari ini juga merayakan ulang tahunnya. Seorang yang menjadi sahabat terbaik di masa sulitku dulu.
Aku ingin bertemu dan merayakan ulang tahun bersama dengannya lagi. Namun sayang sudah sekitar enam tahun aku tak pernah bertemu dengannya lagi.
“Erin, apa ada yang ingin kau lakukan hari ini? Tanya ibu.
“Tidak bu, aku hanya ingin berada disini. Bersama kalian saja itu sudah cukup.” Jawabku.
“Kau tak ingin hadiah, sayang?” tanya ibu sambil tersenyum kearahku.
Aku hanya diam, membalas senyuman ibu dan menggelengkan kepalaku tanda tak menginginkan apa - apa. Lalu ayah datang dan menyambung pembicaraan.
“Meskipun kau tak menginginkannya, tapi ayah dan ibu sudah menyiapkannya untukmu.” Sahut ayah.
“Ikutlah dengan kami.” Pinta ibu.
“Kita mau kemana? Kenapa harus menggunakan mobil ?” tanya heran.
Baik ayah maupun ibu, tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mereka seolah tak mendengar kata – kata yang keluar dari mulutku.
Mobil tiba – tiba berhenti di persimpangan. Dan ibu memintaku untuk menutup mataku menggunakan sehelai kain. Lalu mobil kembali berjalan, tapi aku tak tahu pergi kearah mana karena diminta untuk menutup mata.
Masih dalam kondisi mata tertutup, turun dari mobil mereka mengantarku ke sebuah tempat duduk yang rasanya bergoyang – goyang. Dan mereka memintaku untuk membuka mata pada hitungan ke tiga.
Satu.., dua.., tiga…
Aku membuka mataku. Suasananya cukup gelap, hanya diterangi oleh dua lampu jalan. Aku duduk di sebuah ayunan di salah satu taman bermain. Dan tak seorang pun yang berada di taman ini selain aku, melirik kearah kanan aku menemukan sebuah kotak hadiah.
“Kau menemukannya!” kata ayah dan ibu.
Tanpa berpikir aku langsung membuka kotak itu, dan saat kulihat isinya…
“Helm …? Kenapa kalian memberiku helm?” tanyaku heran.
Ayah dan ibu menyuruhku untuk mencoba helm itu. Kacanya cukup gelap khususnya karena saat ini sudah malam membuatku tak bisa melihat apapun. Dan saat aku melepas helm itu ayah dan ibu malah menghilang.
Tiba – tiba ada yang menepukku dari belakang. Seseorang yang menggunakan helm berwarna jingga neon. Yang sedang membawa kue ulang tahun.
“Selamat ulang tahun Erin!.” Sahutnya sambil memberikan kue ulang tahunnya padaku.
Warna helm itu sepertinya familiar bagiku, dan suara ini …
Setelah melepaskan helmnya, dia meletakkan tangannya diatas kepalaku dan mengacak – ngacak rambutku.
“Kau tidak berubah, yah .. ?” katanya.
            Sejenak aku terdiam, dan meraih tangannya yang  sedang mengacak -  acak rambutku.
            “Yoseph, kenapa kau disini? Kapan kau pulang .. ?” sahutku.
            “Apa kau lupa dengan hobi murahku, Erin?” tampik Yos.
            Dia pun menceritakan semuanya, dan menjelaskan bahwa dia akan mengikuti kejuaraan yang diselenggarakan di daerah sekitar sini. Kami pun saling berbagi cerita tentang kuliah masing – masing, dan tanpa terasa kami berbincang hingga larut malam.
            Ayah dan ibu sudah pulang lebih dahulu menggunakan mobil, dan aku di antar pulang oleh Yos. Sepanjang perjalanan kami tak bicara banyak, aku masih berpikir kenapa dia kembali disaat seperti ini.
            “Dia kembali…”
“Aku sudah membuang kuncinya, tapi aku lupa kalau dia punya kunci duplikat.” Kataku dalam hati.
Dia kembali membuka rasa yang sudah susah payah ku kubur dalam – dalam selama satu tahun ini. Hatiku kembali terbuka hanya dalam hitungan detik. Aku tak yakin apa bisa menahan perasaan ini.
“Apa kau akan tinggal? Atau kau hanya berkunjung saja?” tanyaku.
“Aku belum bisa menjawabnya.” Jawabnya lugas.
Aku mengerti dengan maksudnya dan mencoba untuk tak bertanya lagi.
“Mungkin aku akan tinggal beberapa lama.” Katanya.
Aku tak menanggapinya, tapi jujur aku sangat senang karena dia akan menetap disini meskipun hanya untuk beberapa saat saja.
Selama dia disini, dia menghabiskan waktunya dengan latihan dan mempelajari beberapa buku yang dia bawa. Melihatnya berusaha aku pun kembali berjuang dengan tugas – tugasku yang sudah menanti di meja belajarku.
Hari demi hari berlalu aku berhasil melewati semester ke empat. Dan tanpa kusadari, Yos sudah tinggal disini cukup lama. Dan tiba saatnya untuk dia kembali ke luar kota.
Aku harus melepaskannya lagi, menghancurkan dinding yang sudah susah payah ku bangun hanya dengan sebuah kunjungan. Aku harus mengunci perasaan ini lagi … atau mungkin aku memang harus membukanya. Aku bimbang…
“Apa kau baik – baik saja?” tanya Yos.
“Hah..? Oh, ya aku baik – baik saja.” Jawabku.
“Kau tidak seperti biasanya.” Katanya.
“Sudah tak apa – apa, kau masih melanjutkan hobi murah mu kan?” tanyaku setengah bercanda.
Dia tertawa dan menepuk bahuku.
“Yah, akan ada kejurnas di daerah tempatku tinggal.” Katanya.
“Oh…, berjuanglah! Pastikan kau menang, oke?” sahutku.
Dia tersenyum, melambaikan tangan dan berjalan masuk ke gerbang keberangkatan.
Perjuanganku masih berlanjut, dan akhirnya aku tiba di semester terakhir. Mahasiswi kedokteran yang menjadi koas di sebuah rumah sakit. Aku ditempatkan di sebuah rumah sakit yang cukup besar di kota. Dan aku bertemu dengan banyak kasus di rumah sakit ini.
Banyak yang harus ku tangani, aku ditempatkan di unit gawat darurat. Disana sangat banyak orang – orang yang mengalami kecelakaan, khususnya kecelakaan lalu lintas. Setiap hari kau bisa melihat orang yang berlumuran darah, orang yang tulangnya patah, bahkan orang dengan luka parah yang bisa berakibat fatal.
Aku mulai terbiasa dengan kondisi ini, aku harus fokus dengan tujuan hidupku. Aku mengerahkan semua tenaga untuk menolong mereka. Aku tak akan membiarkan seorang pun mati. Itulah tujuanku sebagai seorang calon dokter.
Ruang UGD merupakan tempat dimana aku memulai segalanya sebagai koasisten dokter. Bukan hanya belajar dari materi kuliah tapi langsung belajar dari rumah sakit. Itulah yang tengah kujalani saat ini.
Karena hal ini aku jadi sering pulang larut malam, dan tak jarang aku menginap sampai pagi dirumah sakit karena banyaknya pasien yang harus diobati.
Langkahku untuk menjadi dokter tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada begitu banyak tangga yang harus kunaiki, dan kini aku berhasil melewati masa kepaniteraan klinik, masa dimana aku belajar langsung dari rumah sakit.
Tak berhenti disitu aku masih harus menghadapi ujian terakhir untuk menjadi dokter. Ujian Kompetensi Dokter (UKD), aku harus mengikuti ujian ini agar bisa mendapat gelar dokter. Dan aku berhasil melewatinya dengan lancar. Setelah lulus ujian ini, aku secara resmi berhasil menjadi dokter. Meskipun sudah disumpahi sebagai dokter, masih ada tahapan terakhir yang harus aku lewati.
Tahapan itu adalah magang, dan aku ditempatkan keluar kota. Didaerah pelosok, yang cukup jauh dari kota besar. Daerah yang sejuk dengan pepohonan yang tumbuh disekitar rumah penduduk. Dan aku harus menetap disana selama kurang lebih satu tahun.
Kali ini aku dituntut meninggalkan keluarga untuk menolong orang lain, demi meraih impianku sebagai dokter.
Di bulan ketujuh, aku berpamitan dengan ayah dan ibu. Aku pergi menggunakan pesawat, dan perjalanannya membutuhkan waktu dua jam untuk tiba di kota itu. Tak berhenti disitu, aku juga harus naik bus selama satu jam untuk bisa mencapai rumah sakit dimana aku ditempatkan sebagai dokter magang.
Disini tak begitu banyak pasien luka - luka seperti yang pernah kuhadapi dulu di UGD. Tapi banyak kutemui warga dengan berbagai keluhan penyakit yang tak mampu untuk membayar tagihan rumah sakit.
Dan di rumah sakit kecil ini, aku juga bertemu dengan beberapa dokter magang dari berbagai kota. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok, aku dan rekanku ditempatkan diruangan B10.
Rekanku seorang laki – laki yang berasal dari ibukota. Namanya Sam. Dia tampak seperti orang yang baik, meskipun jarang berbicara dan menunjukkan ekspresinya. Kami menangani berbagai keluhan penyakit bersama.
Disini kami para dokter magang tinggal di sebuah rumah susun, yang khusus untuk ditempati para calon dokter. Penduduk di daerah ini sangat ramah terhadap para pendatang seperti kami. Mereka bahkan menganggap kami seperti keluarga mereka sendiri.
Bulan berganti bulan, aku mulai terbiasa dengan adat dan kebiasaan masyarakat disini. Dan di bulan September seperti ini sering di adakan festival di daerah sekitar sini. Ada begitu banyak kegiatan dan juga lomba yang diselenggarakan.
Aku dan Sam sama – sama mengambil cuti untuk minggu ini karena diundang oleh masyarakat untuk menghadiri kegiatan festival daerah sini. Merasa tak enak, tentu saja kami menerima undangan mereka.
Menikmati liburan selama seminggu, membuatku ingin jalan – jalan di sekitar sini. Aku ingin melihat situasi daerah sini lebih jelas lagi. Sekitar lima menit berjalan, aku menemukan sebuah bukit dan aku naik ke atasnya. Terlihat sebuah tanah kosong seperti lapangan yang cukup besar. Tak kusangka di tempat seperti ini terdapat sirkuit balapan.
Dan di akhir September nanti katanya akan dilaksanakan kejuaraan nasional motocross.  Mendengar hal itu membuatku teringat sesuatu… Sesuatu yang seharusnya sudah ku lupakan dan tak ingin ku ingat – ingat lagi.
Dalam sebuah kejuaraan ---olah raga--- balap, tentunya membutuhkan tim medis. Sam dan Aku ditunjuk sebagai kepala tim medis di kejurnas itu.
Bukan suatu kebetulan, saat aku keluar dari tenda medis aku mendapati sudah banyak penonton yang memenuhi sekeliling sirkuit padahal perlombaannya nanti akan dimulai sekitar satu jam lagi. Masyarakat disini kelihatan sangat antusias dengan setiap kegiatan yang dilaksanakan.
Jarum jam menunjukkan pukul satu tepat dan pertandingannya dimulai. Aku yang dulunya selalu hadir sebagai penonton, kini harus duduk diam berjaga di tenda medis. Meskipun begitu, aku seringkali keluar untuk melihat aksi salib – menyalib dari para pembalap.
Di kelas junior banyak pembalap yang terjatuh, tapi untunglah mereka tak apa – apa dan masih bisa melanjutkan pertandingan. Dan tiba di kelas 110 cc, entah kenapa suasananya berubah. Para penonton menyoraki seorang pembalap dengan nomor 94, dia pembalap yang hebat itulah yang kesan pertamaku saat melihatnya.
“Kau suka hal seperti ini, yah?” ucap Sam.
Aku hanya tersenyum kagum melihat aksi pembalap itu, tanpa menanggapi ucapan Sam. Saat tiba di dua putaran terakhir tiba – tiba, petugas marshall mengibarkan benderanya tanda ada pembalap yang butuh pertolongan.
Sam dengan sigap langsung berlari membawa tandu untuk mengangkatnya. Dari kejauhan, Sam terlihat seperti mengatakan sesuatu. Saat dia tengah membawa pembalap yang jatuh tadi menuju tenda medis, dia memintaku untuk menangani pembalap bernomor 94 yang masih terbaring di arena sirkuit.
“Apa?? Masih ada pembalap lain disana?” sahutku bergegas membawa kotak P3K.
“Buka helmnya!” pintaku pada kru dari pembalap bernomor 94 itu.
Saat mereka membuka helmnya, kudapati seorang dengan wajah yang sangat ku kenal.
“Yoseph, ini kau kan?” kataku dalam hati sambil memeriksa tangan dan punggungnya.
“Bagaimana kondisinya?” sang kepala kru bertanya.
“Syukurlah dia tak apa – apa. Punggungnya memang sedikit terbentur tapi aku yakin dia bisa melanjutkan balapan.” Jawabku.
Aku meminta mereka untuk membawa Yos ke paddock, agar penanganannya bisa dilakukan lebih baik. Aku membuka kotak P3K dan membalut punggungnya.
“Jika dia bisa berdiri, berarti dia bisa lanjut. Kalian bisa memanggilku di tenda medis jika memang dibutuhkan.” Tandasku.
Saat hendak kembali ke tenda medis, langkahku tiba – tiba terhenti. Ada yang meraih tanganku dari belakang, sehingga pergerakanku tertahan.
“Kau sudah bertugas dengan baik dokter Erin.” Gumamnya.
Aku sempat terdiam, lalu kuputuskan untuk berbalik dan bicara dengannya. Aku bertanya apa masih ada yang terasa sakit, dan dia hanya diam. Ku ganti pertanyaanku, apakah ada yang kau butuhkan, namun dia sama sekali tak merespon. Aku kembali membalikkan badan menuju ke tenda medis.
Dan sekali lagi, dia menahanku.
“Tinggalah disini sampai kelas 125 cc dimulai.” Pintanya.
“Tapi aku harus berjaga di tenda medis.” Sergahku.
“Aku ingin bicara denganmu.” Tampiknya.
Mengiyakan kemauannya, aku pun tinggal di paddock timnya. Masih ada empat kelas lagi hingga kelas 125 cc dimulai. Aku tak tahu apa yang akan Sam katakan kalau dia tahu aku hanya duduk santai disini.
“Sudah dua tahun kita tak bertemu.” Kata Yos padaku.
“Yah, tak kusangka kita akan bertemu di suasana yang seperti ini.” Ucapku sambil melihat ke arah sirkuit.
“Kau tak berubah yah?” sahutnya sambil tertawa kecil.
“Apanya yang tak berubah?” kataku pada Yos yang masih tertawa.
“Sepertinya kuliahmu sebentar lagi selesai. Kau pasti akan menjadi seorang dokter yang hebat nanti.” Ucapnya
“…” aku diam tanpa membalas perkataan Yos.
Lalu aku menceritakan kisahku sebagai dokter magang di daerah ini, Yos sedikit terkejut ketika aku memberitahunya bahwa aku akan menetap disini hingga sepuluh bulan kedepan. Tugas lapangan pertamaku sangat menarik, karena menjadi anggota tim medis untuk pertandingan ini. Ditambah lagi, karena hal ini aku kembali bertemu dengannya.
Mengembalikan topik pembicaraan aku pun bertanya pada Yos, “Jadi sekarang nomor yang kau pakai adalah 94?”.
“Kau sepertinya sudah sangat terkenal lewat hobi murahmu ini. Kau punya skill, bahkan penggemar yang selalu menyorakimu.” Ucapku.
“Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Itu saja.” Tandasnya.
“Apa kau butuh obat lagi?” tanyaku.
“Tidak, terima kasih.” Tolaknya.
Kelas 125 cc akan segera dimulai, terdengar jelas dari pengeras suara yang mulai mengumumkan urutan di garis start.
“Aku percaya kau bisa melakukannya.” Sahutku.
Dia tersenyum. Lalu aku mengambil helmnya dan memberikan helm itu padanya. Satu hal yang kuharapkan, semoga dia masih melakukan hal itu sebelum race. Kami berdua keluar bersama dari paddock, dia menuju garis start dan aku menuju tenda medis.
Setibanya di tenda medis, tak ada seorang pun didalamnya selain alat – alat pengobatan. Saat berniat keluar mencari Sam, tiba – tiba dia muncul di depan tenda medis dengan ekspresi yang datar.
“Darimana saja kau?” ucapnya.
“Maaf, aku tadi bertemu dengan teman lama dan berbincang sedikit dengannya.” Jawabku sambil meyakinkan Sam.
“Sudahlah, kau jaga di luar dan aku akan berjaga didalam sini.” Tandasnya.
Aku setuju, bahkan sangat setuju. Karena jika aku berada di luar aku bisa menonton racenya. Aku tak bisa melihat garis start, karenanya aku berjalan beberapa meter mencari tempat yang bagus untuk menonton.
Aku bisa melihat semuanya dari sini, setiap sudut sirkuit tanpa terhalang oleh sesuatu. Garis start juga kelihatan jelas. Dan disana pandanganku terhenti melihat pemandangan yang sudah sangat kurindukan. Pembalap nomor 94 itu menundukan kepalanya untuk berdoa.
“Dia masih melakukannya.” Pikirku.
Aku percaya dia masih melakukannya, dan aku yakin meskipun punggungnya terbentur dia tetap bisa keluar sebagai pemenang. Kelas terakhir selesai, dan tinggal menunggu pengumuman juara saja. Aku pun kembali ke tenda medis dimana Sam berada.
            “Kelihatannya kau sangat menikmat tugas ini.” Ucap Sam.
            Aku yang mendengar itu hanya bisa terdiam dan tak bisa membantah apa – apa. Karena yang Sam katakan memang benar. Aku sangat menikmati tugas lapangan ini.
            Sebelum pulang aku pun kembali pergi ke paddock 94, dimana Yos berada. Aku kesana untuk mengucapkan selamat karena dia berhasil meraih juara umum di kejuaraan kali ini. Lalu aku pun mengucapkan salam perpisahan pada Yos beserta kru – krunya.
            “Datanglah berkunjung jika kau mau, oke?” teriakku sambil melambaikan tangan.
            Yos membalasnya dengan tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya. Sama seperti yang biasa dia lakukan sejak dulu.
            Selesai berkemas aku dan Sam kembali ke rumah susun dekat rumah sakit menggunakan mobil ambulans. Aku tak berani mengajaknya ngobrol karena takut dia masih marah, ditambah lagi yang kupikirkan saat ini hanyalah orang yang tadi kurawat. Dan sepanjang perjalanan tak ada yang terdengar, selain suara radio yang Sam putar.

###
Sudut pandang orang ketiga serba tahu
            Bertemu dengannya di sebuah halte bus merupakan sebuah kebetulan. Saat itu hujan turun cukup deras, dan membuat Ia harus berteduh. Setengah bagian tubuhnya sudah basah kuyub. Kupinjamkan payungku agar dia tak menjadi lebih basah.
            Wajah dan rambut coklat kemerahannya tidak berubah. Aku pernah bertemu dengannya. Saat itu ia masih seorang gadis kecil yang selalu bersama ayahnya. Terlihat dia duduk di paddock seorang pembalap hebat, yang kini sudah menjadi legenda. Dan dia selalu hadir dalam setiap pertandingan yang di ikuti oleh pamannya itu.
            Mungkin dia tak tahu, tapi pamannya adalah orang yang mengajariku tentang balapan dan membuatku menyukai hobi murah ini. Pamannya pernah menjadikanku sebagai anggota timnya, dan berada di paddock yang sama.
            Dan tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengannya dalam sebuah pertandingan seperti ini. Dia terkejut melihatku sebagai seorang pembalap, tapi karena hal ini pula berbicara dengannya jadi lebih mudah. Dia mengerti tentang hobi murah ini.
            Seakan – akan hobi ini yang membawanya padaku. Semenjak dia tahu tentang hal ini, dia selalu hadir dalam setiap pertandingan dan kejuaraan. Terlihat jelas dari wajahnya dia menyukai hal yang sama denganku.
            Terlepas dari dunia balapan, dia juga termasuk orang yang selalu berusaha melakukan yang terbaik. Dia gadis cantik dan cerdas, yang selalu terlihat antusias. Dan dia punya tujuan hidup yang jelas dan sangat mulia.
            Dia hidup untuk menolong orang lain.
            Mendengar ayahnya bercerita tentang bagaimana ia melewati tahap demi tahap untuk meraih sebuah gelar, membuatku sadar. Perjuangannya masih begitu panjang. Dan aku, tak ingin menghalangi jalannya sebagai seorang dokter.


###
Sudut pandang orang pertama pelaku utama
            Tiga tahun telah berlalu, tugas sebagai seorang dokter magang telah kuselesaikan. Dan dengan ini, semua tahap berhasil kulewati. Seiring berjalannya waktu, kini sudah bulan Oktober. Dalam hitungan hari aku sudah bebas melakukan tugasku.
            Aku dipilih untuk menjadi kepala di bagian UGD dirumah sakit yang cukup besar di kotaku, tempat dimana aku memulai karirku sebagai seorang dokter. Dan ini merupakan hadiah ulang tahun terbaik yang sama sekali tak pernah timbul di pikiranku sebelumnya.
            Aku berhasil melewati masa – masa sulit. Akhir pekan ini, aku memutuskan untuk jalan – jalan di daerah dataran tinggi. Aku tiba di sebuah bukit yang di dekatnya terdapat tanah lapang yang begitu kosong tak ditumbuhi pohon maupun tumbuhan lainnya.
“Bagaimana kondisimu sekarang? Apa kau akan kembali? Apa kau masih melakukan hobi murahmu itu?” Kataku dalam hati sambil melihat ke arah langit.
Terdengar suara motor dari arah belakang.
Aku berbalik, melihat kearah suara itu berasal. Kudapati seorang pria yang masih memakai helm duduk di atas sepeda motornya sambil melambaikan tangan padaku.
Langkah demi langkah, tak sadar aku sudah berjalan kearahnya. Dia kemudian membuka helmnya. Sontak aku terdiam.
“Erin? Erin?” sahut orang itu.
“…” aku tak menjawab sahutannya.
“Ah, maaf Ayah. Kenapa tiba – tiba berada disini?” ucapku terkejut.
Aku melihat orang yang melambaikan tangan itu sebagai Yos, ternyata itu hanya bayanganku saja. Orang itu adalah ayahku sendiri, yang datang dengan sepeda motor miliknya. Aku terlalu banyak berpikir, sehingga membuatku berhalusinasi tentangnya.
“Erin, mumpung kau punya waktu. Apa kau ingin pergi bersama ayah, nak?” tanya ayah sambil tersenyum.
“Tentu saja. Kemana kita akan pergi?” lanjutku sambil menaiki motor dan memakai helm yang dibawah ayah.
“Kita akan bertugas sebagai tenaga relawan untuk tim medis, sayang.” Tampik ayah yang sedang menyalakan mesin motornya.
“Tim medis? Tunggu dulu, apa di sekitar sini diadakan balapan lagi?” sahutku.
Ayah hanya membalas dengan tersenyum dan menganggukan kepalanya, terlihat dari spion motornya. Aku terkejut disini masih diadakan kejuaraan seperti dulu. Disisi lain, aku kembali berpikir “Apa aku akan bertemu dengannya lagi?”.
Kami tiba pukul 12.30, sirkuitnya sudah mulai penuh dengan penonton dari berbagai jenis umur. Melihatnya, membuatku bernostalgia dengan masa kecilku yang juga sering menonton hal seperti ini.
“Wah, ternyata masih banyak yang meminati olahraga ini.” Ucapku kagum.
“Tentu saja, olahraga ini banyak diminati.” Tandas ayah sambil berjalan masuk ke tenda.
Situasi ini sangat mirip dengan hari dimana aku bertemu dengan Yos di tenda medis beberapa tahun yang lalu. Suara laju motor, suara riuhnya penonton yang bersorak. Membuatku kembali teringat akan pembalap bernomor 94 itu. Dan saat aku berjalan masuk, aku terkejut ada orang didepanku.
“Ah, maaf. Aku tidak melihatmu.” Kataku sambil membungkuk.
“…” Orang itu tak menjawab permintaan maafku.
“Suara ini, kau Erin bukan?” ucap orang itu.
“Kau mengenalku?” tanyaku.
Ayah yang juga berada di dalam tiba – tiba datang dan memotong pembicaraan kami.
“Astaga, aku lupa. Perkenalkan ini dokter yang ditugaskan ditempat ini, namanya Sam. Dialah yang akan membantu kita disini” Jelas ayah.
Orang itu hanya diam, dan berjalan keluar dari tenda. Masih terkejut, aku pun menyusulnya dan ikut keluar dari tenda.
“Kenapa kau ada disini?” sahutku.
“Aku diajak oleh ketua panitia kegiatan ini.” Tandasnya.
“Oh, begitu rupanya. Ku pikir takkan melihatmu lagi setelah masa magang selesai. Ternyata kita malah bertemu di suasana seperti ini.” Ucapku sambil menepuk punggungnya.
Dia mengacuhkan perkataanku, dan kembali masuk kedalam tenda. Tak peduli dengan responnya, aku melihat kearah langit untuk melihat kondisi cuaca. Langit tampak cerah berawan, yang berarti ini hari yang tepat untuk balapan.
Aku dan ayah sepakat untuk berjaga diluar, sementara Sam siaga dalam tenda medis. Karena berada diluar, aku mengambil kesempatan untuk melihat para pembalap lebih dekat dengan menaiki sebuah timbunan tanah yang cukup tinggi.
Kali ini, aku melihat pemandangan yang berbeda. Sudah banyak pembalap yang menundukkan kepala mereka untuk berdoa sebelum balapan dimulai. Karena setauku, dulu hanya seorang saja yang melakukan hal seperti itu. Jujur saja aku senang melihat perubahan itu.
Balapan di istirahatkan sejenak untuk pergantian kelas. Sambil menunggu, aku meminta izin untuk melihat suasana sirkuit. Banyak yang berubah, paddock yang dulunya berada di bagian belakang kini pindah ke bagian kanan sirkuit. Dan kini sudah ada tribun penonton yang cukup besar untuk menampung para penggemar balapan.  
Melewati tribun penonton, tiba – tiba terdengar suara perempuan yang berseru memanggil namaku. Dengan bantuan kursi roda, dia menghampiriku dan menggenggam kedua tanganku.
“Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi, Erin.” Ucap perempuan itu.
Aku hanya tersenyum keheranan dan tak tahu harus bilang apa pada perempuan itu.
“Apa kau lupa? Ini aku Netha.” Sahutnya.
Ekpresiku sontak berubah dan aku langsung mencoba memeluknya. Setelah itu aku mengajaknya untuk ngobrol sambil jalan – jalan mengelilingi sirkuit.
“Apa tidak sulit menggunakan kursi roda ditempat seperti ini?” tanyaku.
Dia hanya tersenyum dan berkata “Aku sudah terbiasa, satu tahun setelah kau keluar dari rumah sakit aku sudah mulai menggunakan alat bantu ini.”
            Aku keluar dari rumah sakit itu sudah sekitar belasan tahun yang lalu, dan saat itu aku masih ingat jelas kalau Netha baik – baik saja. Dan tak ada yang salah dengan kakinya.
“Aku divonis lumpuh permanen oleh dokter, dan semenjak saat itu aku sudah tak bisa menggerakan kakiku.” Lanjutnya.
Mendengar perkataannya membuat langkahku terhenti.
“Erin?” sahut Netha.
“Ah, maaf.” Ucapku sambil mendorong kursi roda yang diduduki Netha.
“Maaf yah, kau harus mendengar hal seperti itu.” Tambah Netha.
Aku hanya tersenyum sambil terus mendorong kursi roda. Dan saat melewati paddock tiba – tiba ada seorang laki – laki datang menghampiri kami. Sangat jelas bahwa orang itu adalah seorang pembalap, aku bisa melihatnya dari pelindung lutut, siku, dan leher serta helm berwarna kuning neon yang dia pakai.
“Aku mencarimu kemana – mana.” Sahut orang itu sambil mengusap kepala Netha.
Orang itu langsung mendekat dan menggantikanku mendorong kursi roda menuju paddock timnya yang jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.
Melihatnya membuatku sedikit terkejut. Dan lewat tindakannya aku bisa melihat kalau dia sangat menyayangi Netha. Aku ikut tersenyum melihat mereka berdua. Setibanya di depan paddock Netha tersenyum seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Oh iya. Perkenalkan ini Erin, dia sahabat masa kecilku.” Kata Netha mengenalkanku pada orang itu.
“Erin?” tanya orang itu sambil membuka helmnya.
Aku terdiam dan tak bisa tersenyum lagi, wajah orang ini tak bisa ku kenali karena terhalangi oleh helm. Wajah ini, wajah yang selalu terbayang dipikiranku. Dia orang yang selalu kunanti bertahun – tahun.
            Lalu Netha pun melanjutkan pembicaraan.
“Dan perkenalkan ini tunanganku, namanya Yoseph kau juga bisa memanggilnya Yos.” ucap Netha sambil meraih tangan orang yang berada di sampingnya.
Aku masih terkejut seolah tak bisa menerima semua ini, pandanganku terahlikan oleh nomor motor yang ada di paddock tempat kami berada sekarang. Dan nomor itu, nomor yang sama dengan yang kulihat beberapa tahun lalu ‘94’.
Tunangannya adalah orang yang ku nanti selama ini. Aku tak tahu harus merespon apa, orang yang bertunangan dengan Yos adalah sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Aku mencoba menahan perasaan ini. Aku harus bisa tersenyum seperti biasa.
“Erin, Erin! Apa kau tak apa – apa?” ucap Netha padaku yang masih termenung.
“Oh, maaf. Sepertinya aku harus kembali ke tenda. Terima kasih untuk waktunya Netha, senang bisa bertemu denganmu lagi.”  Kataku tergesa – gesa.
Aku harus menjauh, aku tak bisa menahannya.
“Tapi Erin, tunggu..” sahut Netha.
Aku berbalik dan menyapa Yos yang berada tepat di samping Netha.
“Tolong jaga dia yah, dia sahabat yang sangat berharga bagiku. Dan untuk kejuaraannya, aku yakin kau pasti memenangkannya.” Kataku sambil menepuk bahu Yos.
Wajah Yos sama sekali tak berubah, dia seolah ingin berbicara denganku. Tapi melihat matanya saja aku tak mampu.
“Sampai jumpa, semoga berhasil yah!” teriakku yang tengah berlari sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan paddock itu, di depan sebuah pohon aku menghentikan langkahku dan mengada ke langit. Tak lagi kulihat langit biru yang dihiasi awan putih, yang kudapati hanya gumpalan awan mendung yang menutupi daerah sekitar sini.
Hujan mulai turun membasahi tanah, ku lanjutkan langkah demi langkah hingga mencapai tenda medis.  Aku terdiam di depan tenda, merenung dan membiarkan diriku diguyur oleh tetes – tetes air yang jatuh dari langit.
“Sejak kapan aku jadi selemah ini?” pikirku.
Aku masih belum bisa menerima ini, aku membiarkan diriku dibasahi oleh hujan agar tak ada yang melihatku menitihkan air mata. Ditengah derasnya hujan, aku mendengar suara yang memanggil namaku.
“Erin! Erin! Apa yang sedang kau pikirkan, nak? Kau bisa jatuh sakit, cepatlah masuk.” teriak ayah dari dalam tenda medis.
Tiba – tiba Sam keluar, dan menarikku masuk ke dalam tenda. Sebelum aku masuk kedalam tenda, aku berhasil menghentikan tetesan air mata yang tadinya disamarkan oleh air hujan.
“Jika dokter sakit siapa yang akan merawat pasien yang membutuhkan bantuan?” tampik Sam sambil melemparkan handuk pengering kearahku.
“Maaf, aku terlalu senang bisa melihat sirkuit dalam keadaan basah.” Ucapku setengah bercanda.
“Apa kau tak apa – apa Erin?” tanya ayah serius.
Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku. Karena tak mungkin ku katakan yang sebenarnya kurasakan. Ayah mungkin sudah lupa tentang Yos, tapi memori akan tetap berbekas pada setiap orang termasuk pada Yos sendiri.
Suara tetesan air mulai menipis, tanda hujan sudah mulai redah. Kelas terakhir akan dimulai 10 menit lagi dengan kondisi basah dan penuh genangan air. Terdengar dari pengeras suara urutan pembalap yang menempati garis start.
Hatiku sudah mulai tenang, aku sudah bisa mengatasinya. Sementara itu, ayah memutuskan untuk mengecek kondisi dari setiap pembalap yang masih berada di paddocknya masing – masing. Dan yang tersisa di dalam tenda medis hanya aku dan Sam.
“Erin, bisakah aku bertanya sesuatu?” ucap Sam.
“Silahkan saja.” Sahutku.
“Kau seorang dokter tapi menyukai hal – hal berbau otomotif, jadi harusnya ini menjadi pertanyaan mudah bagimu. Apa kau pernah melihat helm dan stetoskop berada di meja yang sama?” tanya Sam sambil merapikan meja yang ada dalam tenda.
“Uhmmm..., sepertinya pernah. Tapi itu sangat jarang terjadi. Kenapa?” tanyaku heran.
“Kalau cairan infus dan juga oli, apa kau pernah melihat kedua benda itu berada di tempat yang sama?” lanjutnya.
“Mana mungkin cairan infus dan oli bisa berada di tempat yang sama?!” tandasku sambil setengah tertawa.
“Bagaimana dengan stetoskop dan kotak P3K?” lanjutnya sambil tersenyum kearahku.
Aku terdiam beberapa saat untuk berpikir. Dan tak menjawab pertanyaannya.
“Apa kau mengerti maksudku?” ucap Sam sambil berjalan kearahku.
Dia membungkuk dan membisikkan sesuatu. Saat dia mengucapkan kalimatnya, ternyata race untuk kelas terakhir sudah dimulai. Dan bisikannya tertutup oleh suara motor balap yang melaju melewati tenda medis. Aku tak sempat mendengarnya.


------------------------------------------TAMAT-------------------------------------------------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI NOVEL "Sakura Wish"

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN Aliran - aliran Gereja dan Kronologis Perpecahan

PUISI 30 baris "Pemilik Hidupku"